_can i call you a thief?_
Kenalin, gue adalah Amber. Gue adalah seorang mahasiswi.
Wajah gue jauh dari kata cantik, tapi gue manis, tubuh gue juga termasuk
tinggi, ga gemuk, ga kurus, tapi dibilang proposional juga engga.
Hmm, ya cewek manis yang satu ini yaitu gue
jatuh cinta pada pandangan pertama sama cowok yang gantengnya luar biasa dan
banyak banget cewek-cewek yang suka. Mulai dari seangkatan, senior, ataupun
junior. Dari cewek yang cantik, manis, atau pas-pasan lah suka sama dia.
Emang horror banget gue bisa suka sama
cowok kayak gitu. Awalnya sih gue gak tahu kalo dia disukain sama begitu banyak
cewek karena gue jatuh cintanya pun gak sengaja.
Jadi waktu itu gue sama temen gue yang
bernama Lufi lagi nunggu dosen yang datengnya ngaret banget. Karena bosan,
akhirnya gue ngajak Lufi buat ke toilet. Ya, seperti biasa yang namanya cewek
ke toilet bukan hanya untuk buang hajat tapi hanya sekedar melihat penampilan
aja.
Setelah dari toilet, gue dan Lufi balik ke
kelas. Tapi sebelum tangan berhasil mendorong pintu kelas, gue berpikiran untuk
duduk-duduk di luar kelas aja. “Fi, kita duduk disini aja yuk.” Kata gue sambil
menunjuk lantai kosong untuk kami duduki.
Waktu itu keadaan koridor kampus sedang
ramai-ramainya. Sepertinya tidak hanya dosen di kelas gue aja yang ngaret tapi
dosen di kelas lain pun begitu. Kebanyakan sih yang ngobrol anak-anak cowok
sambil tertawa cekikikan dan meledak-ledak entah apa yang mereka obrolkan.
“Oke.” Kata Lufi menyetujui usul gue.
Akhirnya kami duduk sambil mengobrol
ngalor-ngidul.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang memancing mata
gue untuk berhenti jelalatan ngeliat-liat yang gak pasti. Seorang cowok dengan
paras yang begitu tampan, duduk di lantai sedang mengobrol dengan
teman-temannya, bibirnya tertawa dengan lebar, tampak begitu asyik dengan
obrolan mereka.
Cowok itu langsung menarik perhatian gue.
Jujur, karena wajahnya yang tampan. Dari kelima cowok yang lagi ngobrol sama
dia, Hanya dia yang mencuri perhatian gue. Gue perhatiin terus cowok itu sampe
gue mati penasaran dibuatnya saat itu juga.
“Lufi, loe kenal cowok yang itu gak?” gue
tanya ke Lufi sambil nunjuk cowok itu sembunyi-sembunyi.
Lufi nengok ke arah yang gue tunjuk,
matanya menyipit sambil memperhatikan sosok tampan itu. Namun reaksi Lufi
mengecewakan gue, dia menggeleng sambil mengerutkan dahi. “Engga Am, gue gak
kenal.”
“Ganteng ya Fi.” Gue minta pendapat, Lufi
hanya senyum-senyum aja—lebih seperti senyum meledek.
Mulai saat itu, mulai pertemuan gue sama
cowok itu, gue bener-bener terobsesi untuk kenal sama dia. Gue terobsesi untuk
bisa dekat dengan dia. Akhirnya, gue cari-cari berbagai informasi tentang dia
dan dengan mudahnya gue mendapatkannya.
Radit, banyak yang suka, beken, dan gak ada
yang gak kenal dia. Berarti selama ini yang gak kenal dia hanya gue dan Lufi?
Benar-benar ajaib. Dia yang kurang terkenal apa gue yang kurang gaul?
Langkah demi langkah, akhirnya gue bisa
kenal sama dia. Gue udah mulai deket sama dia walau kedekatan kami pasang surut
seperti air di lautan. Bisa dibilang gitu, karena ada omongan yang gak ngenakin
yang buat kami harus menjauh satu sama lain.
Akhirnya, gue berpura-pura bagaikan orang
asing kalo ketemu dia. Berpura-pura gak lihat dia seperti sebelum gue jatuh
cinta pada pandangan pertama sama dia, begitu pun dia. Sepertinya gengsinya
sangat tinggi. Hmmm.
Tapi, hari demi hari terus berganti,
perasaan yang udah dewasa itu gak bisa pudar. Gue ngerasa kangen banget sama
dia dan di saat gue sedang merasakan rindu yang menyesakkan dada, dia sms gue!
Dan mulai saat itu, gue udah mulai sering ngobrol lagi sama dia dan kedekatan
kami bagaikan ombak laut yang sedang pasang.
Tiba-tiba, sore hari dia sms gue. Dia
mengatakan hal yang gak gue duga-duga sebelumnya. “Am, gue di depan rumah loe
nih. Keluar dong, kita jalan-jalan yuk!” begitulah isi pesannya.
Gue buru-buru lari terbirit-birit sambil
mengintip melalui gorden rumah gue. Gue belum apa-apa, gue belum mandi dari
tadi pagi, pokoknya kacau banget deh. “Tunggu sebentar ya! Loe diem aja di
luar, jangan masuk!” gue bales sms Radit dengan sangat cepat.
Tanpa mempedulikan nyokap gue yang lagi
nonton TV, gue ngelewatin nyokap gue dan bergegas mandi kemudian berpakaian.
Gue pakai jeans hitam, kaos kuning diluarnya pakai kemeja kotak-kotak bercorak
merah, hitam, dan putih tanpa dikancing, serta sepatu converse. Well, gue
keliatan cuek banget. Sementara dia ganteng banget.
Setelah pamitan sama nyokap gue, gue pun
buru-buru nemuin Radit yang udah bertengger di skuter maticnya. Jantung gue gak
karuan tuh, antara seneng, gak siap, sama mau pingsan gara-gara ada view yang
sangat indah di depan mata gue.
“Mau jalan kemana Dit? Kok dadakan banget
sih?”
Radit tersenyum pada gue. “Gue mau culik
loe Am, mungkin pulangnya besok pagi. Nyokap loe mana? Gue mau izin dulu deh.”
Gue langsung naik ke atas motor Radit.
“Udah, gak usah pamit-pamitan Dit. Nanti malah gak dibolehin. Yaudah, culik gue
sekarang!” kata gue bersemangat.
“Beneran nih?” tanya Radit memastikan,
suaranya terdengar serius. “Nanti gue malah dibenci sama nyokap loe.”
Dalam hati gue sangat senang mendengar Radit
khawatir nyokap gue bakalan benci sama dia kalo dia nyulik gue semaleman karena
itu berarti dia sedang mencari nilai plus dari
nyokap gue. “Gak kok!” kata gue meyakinkan.
Setelah yakin, Radit mulai mengegas
motornya. Kami melewati jalan raya yang begitu panjang di tengah terik matahari
yang cukup menyengat siang ini.
Perlahan sinar matahari itu berkurang saat
sore datang. Entah ada dimana gue sekarang karena gue bener-bener gak tahu
jalan. Yang gue tahu adalah yang gue lihat, yaitu sawah-sawah yang terhampar
luas dan udara yang begitu sejuk. Jalanan yang rata dan banyak petani-petani
dengan sepeda kumbangnya membawa sesuatu di dalam karung yang disangkutkan di
sisi sepeda mereka.
Beberapa kilo motor Radit melaju, kini
pepohonan yang tinggi menjulang ke langit yang gue lihat. Jalanan terlihat
seperti garis yang membelah hutan belantara. “Am, kalo loe dingin, loe bisa
peluk gue kok.” Kata Radit setengah berteriak agar suaranya sampai ke gue.
Mendapat izin sebelum meminta, itu adalah
kesempatan yang sangat bagus dan tidak boleh disia-siakan. Akhirnya, gue secara
perlahan memajukan tangan gue dan melingkarkannya di perut Radit. Kepala gue,
gue sandarkan di punggungnya tapi sayang terhalang oleh helm dan itu sangat
tidak nyaman karena helm gue berkali-kali berbenturan dengan helmnya.
“Dit, helm gue taro di sangkutannya dulu
dong Dit. Udah gak ada polisi kan?” tanya gue dengan polosnya.
Radit pun mengurangi laju motornya dan
menepi. Gue membuka helm dan memberikannya ke Radit. Dia taro helm gue di
sangkutan motor lalu motor kembali melaju.
Dengan begini, gue bisa dengan leluasa
merasakan punggungnya yang sangat nyaman dan harum parfum yang melekat di
jaketnya. “Kita dimana Dit?” tanya gue, gue menyampirkan dagu gue di pundaknya.
Sungguh sangat romantis, walau entah apakah dia merasakan hal yang sama dengan
gue.
“Gue kan lagi nyulik loe, jadi gue gak mau
kasih tahu loe sekarang kita lagi dimana.” Jawab Radit. Wajahnya menoleh ke
samping, dan wajah kami sangat berdekatan saat itu.
Ini adalah kali pertamanya gue lihat dia
dari jarak yang begitu dekat dan dia terlihat jauh lebih tampan dibandingkan
ketika gue lihat dia dari jarak biasa.
Gue gak menimpali perkataan Radit lagi, gue
menikmati perjalanan hingga langit berubah menjadi gelap. Terdengar suara deru
ombak dari kejauhan. Gue udah bisa menebak Radit akan membawa gue kemana. Ya,
ke pantai. Tapi tetap aja gue gak tahu pantai apa tepatnya.
Kami berjalan sedikit dari tempat Radit
memarkir motornya. “Kita tidur disini malam ini.” Kata Radit dengan suara
beratnya.
“Gak salah Dit? Masuk angin kali. Angin
laut malam begini kan dingin banget.”
Radit melepas jaketnya dan memakaikannya ke
gue. “Loe pakai ya.” Katanya dengan lembut.
Gue membeku seketika karena yang gue
rasakan saat ini hanyalah keromantisan di bawah sinar rembulan yang sangat
penuh itu dan sesekali tertutup oleh awan yang numpang lewat, gulungan-gulungan
ombak yang tidak begitu kencang, serta suara belaian angin yang berteriak
syahdu.
“Jangan Dit, nanti malah loe yang masuk
angin.” gue menolak pemberian Radit.
Tapi Radit malah memegangi kedua bahu gue
dengan sangat erat, tidak membiarkan gue menolak pemberiannya. “Gak apa-apa Am,
gue gak bakalan masuk angin kok.”
Gue gak bisa menolak lagi, gue dibuat
meleleh kayak mentega di atas wajan panas padahal udara cukup dingin malam ini.
Kami akhirnya duduk di atas pasir yang
begitu halus. Ombak sesekali menjilat kaki telanjang kami. “Romantis banget ya.”
Kata-kata itu tiba-tiba terlontar dari mulut Radit.
Gue menoleh ke arahnya, gue lihat dia
sedang menahan tubuhnya dengan tangan ke belakang dan kepala menegadah ke
langit. Matanya terfokus pada satu titik, yaitu bulan yang kini tertutup awan.
“Iya Dit.” Jawab gue sambil membetulkan poni gue yang kesibak angin.
Radit merubah posisinya, kini dia menghadap
ke gue. Gue makin mati gaya dan salah tingkah dibuatnya. Angin makin lama
semakin kencang membuat rambut gue minta diperhatiin. “Banyak angin ya.” Kata Radit,
tangannya berpindah ke belakang gue, gue gak tahu apa yang mau dia lakukan.
Kini gue membeku bak patung lilin.
“Pakai aja kupluknya.” Dia menyampirkan
kupluk jaketnya ke kepala gue lalu diakhiri dengan senyuman yang begitu
sederhana namun sangat memikat.
Ini adalah kali pertamanya Radit berlaku
manis ke gue. Apakah gue gak bertepuk sebelah tangan? Entahlah, gue harap
begitu. Gue harap perhatiannya sekarang bukan karena dia cowok dan gue cewek.
Tapi karena dia memiliki rasa yang sama dengan gue.
“Am.”
“Iya Dit?”
Radit tertawa kecil, sungguh tidak jelas.
Membuat gue sangat bingung dan penasaran. “Kok ketawa sih? Kenapa?” entah sihir
apa yang dia keluarkan, gue malah jadi ikutan ketawa tanpa alasan. Gue yakin
banget kalo pipi gue merah merona, untung aja keadaan cukup gelap hanya dengan
cahaya bulan dan lampu penerangan yang jaraknya cukup jauh.
“Main Truth or Dare yuk?” ajak Radit.
Gue menyetujuinya. “Bagaimana
peraturannya?”
“Masing-masing dari kita pilih mau main
truth atau dare. Tapi masing-masing dari kita harus kasih tahu lebih dulu apa
truth yang akan dipertanyakan dan apa dare yang akan diberikan. Setelah itu,
baru pilih truth atau dare.”
Perasaan gue jadi gak enak, sepertinya ini
merupakan sebuah jebakan. Tapi gue udah terlanjur menyetujuinya dan gue pun
mengangguk. “Oke, siapa yang lebih dulu memberikan truth atau darenya?”
“Ladies first.”
“Oke.” Gue mengangguk sambil berpikir
sejenak. “Truthnya adalah siapa ciuman pertama loe dan darenya adalah…” gue
berpikir keras, sudah sejak lama gue kepingin banget Radit mengatakan kalo dia
cinta gue. Mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk gue mendengar
kata-kata itu walau ini hanya sebuah tantangan. “Loe harus nembak gue, ya
akting Dit.”
Radit mengangguk-angguk keras sambil tertawa
kecil. “Kalo gitu gue pilih dua-duanya.”
“Serius loe?”
“Iya. Baiklah, ciuman pertama gue gak tahu
siapa yang jelas ciuman pertama gue bakal gue dedikasikan buat istri gue nanti
di malam pertama.” Kata Radit sambil tersenyum malu-malu. Lucu sekali wajahnya,
membuat gue semakin lumer. “Loe mau gak Am, jadi ciuman pertama gue?”
Gue bingung harus ngejawab apa. Di satu
sisi, ya gue mau lah. Tapi, di sisi lain gue tahu kalo Tuhan sedang ngawasin
gue sama dia. Berdua-duaan aja tanpa ada yang jagain udah dosa, apalagi kalo
sampe ciuman. Masuk neraka deh gue. “Emm, tadi loe bilang katanya ciuman
pertama loe buat istri loe Dit.” Kata gue gugup.
“Iya, kesimpulannya loe mau jadi istri gue?
Jadi, loe yang bakal dapet ciuman pertama gue Am.”
“Dit, ini terlalu mendadak gue bingung.”
“Gak perlu buru-buru, kita pacaran aja
dulu. Loe mau jadi pacar gue?”
Radit menggenggam tangan gue dengan sangat
erat. Gue jadi semakin kikuk dan bingung. “Emm, gue… gue…”
“Gimana? Gue udah memenuhi tantangan loe
kan?”
Ya ampun! Gue lupa kalo gue baru aja ngasih
Radit tantangan buat nembak gue, kenapa gue malah jadi kikuk begini? Bodohnya
gue! Gue berusaha untuk bersikap biasa dan gak kaget kalo itu hanya tantangan
yang baru aja gue kasih. “Iya Dit, udah memenuhi banget dan terlihat nyata.
Sekarang truth sama dare loe apa?”
“Baiklah. Truthnya, siapa cowok yang loe
suka dan darenya loe berenang ke laut.”
Perasaan gak enak gue terjawab. Apa mungkin
kalo Radit udah tahu kalo sebenarnya gue suka sama dia dan sekarang ini dia
sedang meminta kejujuran dari gue. “Truth, dan jawabannya adalah loe.” Kata gue
dengan cepat, gue ngambil keputusan begitu aja karena gue yakin banget kalo Radit
emang udah tahu apa yang gue rasain. Buktinya dia ngasih gue dua pilihan,
pilihan yang gue emang harus jujur dan pilihan yang lain adalah pilihan yang
gak mungkin gue ambil.
“Akhirnya.”
“Curang.” Kata gue menggerutu.
“Gue juga suka loe kok Am. Jujur, gue takut
kalo gue keliru. Gue takut kalo gue salah tebak kalo loe itu suka sama gue.
Ternyata benar.”
“Curang!”
“Would you like to be my first kiss?”
“Of course. But marry me first.”
“Okay, I’ll marry you as soon as possible.”
“I’ll be waiting for you.”
“Thank you.”
“Welcome.”
_THE END_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar