Sabtu, 16 Februari 2013

Cerpen: Harmonika Uyut

Harmonika Uyut
Aku sedang terduduk melamu di rumah mendiang kakekku. Melamun, membebaskan pikiran sejenak dari beban yang menumpuk.
    Damai, tenang rasanya. Rumah ini memang sudah banyak berubah, namun entah apa yang merasuk mataku dan telingaku.
    Mungkin 10 tahun telah berlalu. Ya, 10 tahun lalu dan kebelakangnnya yang begitu indah. atau mungkin begitu menyedihkan bila teringat saat ini.
Harmonica itu, harmonica berwarna cokelat yang sudah lama tak tersentuh. Dulu, buyut perempuanku sering memainkannya untukku. Sambil bercerita tentang keadaan sebelum merdeka.
Dulu beliau memanggilku, “Cicih!” entah darimana nama itu diangkat dari sebuah nama Kartini Ismayanti. Tapi itulah panggilan sayangnya padaku. Akulah buyut satu-satunya saat itu.
Aku terseadar, dulu beliau sering kali berkata bohong hanya untuk menyenangkan diriku. Dan ya, tentu saja aku sangat senang kala itu.
Alunan harmonica itu terdengar lagi. Potret buyutku tergambar jelas, sedang memainkan harmonica untukku. Seiring waktu berlalu, beliau semakin tua. Beliau mulai pikun dan melupakanku—melupakan diriku.
Aku tidak lagi mendengar panggilan “Cicih” dari lidah tuanya. Aku memang hanya diam saat itu, tapi aku marah besar padanya. Aku membencinya karena secepat itu melupakanku.
Ya, saat itu aku belum mengerti. Aku marah karena aku menyayanginya dan tidak ingin kehilangan dirinya. Tapi aku benar-benar kehilangan dirinya.
Tidak lama setelah penyakit pikun merambati dirinya, beliau menghadap sang Khalik. Ya, semuanya terekam jelas saat ini.
Aku kanget uyut, uyut datanglah ke dalam mimpiku. Aku Cicih yang dulu suka menyembunyikan kerudungmu saat main kerumahku, aku yang dulu suka mencabuti ubanmu dan aku buyutmu satu-satunya selagi kau hidup.
Lihatlah diriku, sekarang aku sudah besar. Mainkan harmonikamu lagi yut, aku ingin mendengarnya.
Waktu memang terus berputar. Kehidupan dan kematian terus berjalan. kakekku tidak lama setelah kepergian uyut meninggal karena gula yang dideritanya. Beliau menyusul nenekku yang sudah lama pergi terlebih dahulu saat aku berusia 3 tahun.
Satu kalimat untuk kalian, “Dulu aku tidak mau digendong kalian, tapi sekarang aku ingin merasakannya.” Aku rindu kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar