Sabtu, 16 Februari 2013

Terlupakan

Terlupakan
Aku terbangun karena suara seseorang dari balkon apartemenku. Saat ini sudah sangat larut. Entah suara siapa disana, dari lantai 28 aku sangat yakin maling pun enggan merampok apartemenku lewat balkon.
    Tapi, aku sangat penasaran hingga kutekadkan untuk mengintip. Ternyata seorang pria.
Apa itu di punggungnya? Aku memicingkan mata. Seperti sayap merpati yang sangat besar.
    “Aaa!!” Dia mengerang—sepertinya sangat kesakitan. Malam ini sangat dingin di luar sana. Pasti pria itu sangat kedinginan karena dia hanya mengenakan celana putih panjang.
    Kulihat lagi dia merintih hingga aku tidak tega dibuatnya. Aku memutuskan untuk menolong pria itu. Kubuka pintu dan dia menyadarinya dan menatapku.
Aku hampir menutup pintu kembali tatkala sadar dia bukanlah manusia. Sayap itu menyatu di punggungnya dan semua matanya berwarna hitam.
Namun aku tahu dia tidak akan menyakitiku. “Aku akan menolongmu.” Kataku, ketika melihat sayap kirinya seperti terluka. Aku meyakinkannya dan dia pun mau masuk ke dalam apartemenku.
Aneh rasanya ketika melihatnya. Aku mengeluarkan kotak P3K dan merawat sayapnya. Kami belum saling bicara dan aku pun memulainya. “Kau ini apa?” “Aku malaikat.” Jawabnya. Aku tidak terkejut karena aku sudah menduganya.
“Apa yang terjadi dengan sayapmu?” Malaikat itu bercerita padaku kalau sayapnya patah karena ketika kabur dari Ayahnya, dia terjatuh dan sayapnya terhantam handle balkon apartemenku.
Matanya yang menyeramkan tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal dan itu membuat wajahnya begitu tampan. Tiba-tiba saja jantungku berdebar. “Kalau kamu merasa risih dengan sayapku, aku bisa menyembunyikannya.” Ujarnya salah paham dengan tatapanku.
“Tidak sama sekali. Kamu tidur saja disini, aku akan tidur di sofa.” Aku berharap dia tidak menolaknya dan dia benar-benar tidak menolak. Apakah malaikat seperti itu? Tidak peduli pria atau wanita, tidak peduli harga diri, ketika sedang lemah dialah yang harus diutamakan.
***
Sudah tiga hari ini Dimas—malaikat tampan itu tinggal di apartemenku. Sayapnya yang patah pun sudah sembuh dan yang terpenting aku sudah mendapatkan kembali tempat tidurku.
***
Hari ke 100, kami saling jatuh cinta.
Ya, selama 100 hari dia tidak kuperkenankan untuk keluar dari apartemen karena aku takut itu hanya membahayakan dirinya.
Namun malam ini aku mengajaknya ke taman untuk merayakan hari jadi kami. Di bawah terang bulan, kami berdua saling bertatapan. “Dimas, aku mau melihat sayapmu.” Ujarku sembari menggenggam tangannya—hangat.
Dimas membalas genggamanku. “Bisakah kau membawaku terbang?” tanyaku sekali lagi. Dimas tersenyum padaku.
Aku merapat ke tubuh Dimas. Sayapnya mulai melebar—siap untuk terbang. “Dimas!” tiba-tiba suara berat terdengar dari belakang kami. Kami memutar tubuh kami ke sumber suara.
Wajah Dimas langsung berubah total—seperti orang ketakutan. “Ayah, tolong jangan sakiti gadis ini.” Teriak Dimas sembari tetap merangkulku.
Namun, tiba-tiba seperti ada yang mencekik leherku. Aku tahu ini perbuatan orang itu yang dipanggil ‘Ayah’ oleh Dimas. “Baik Ayah, aku akan menikahi gadis pilihanmu.” Ujar Dimas.
Aku ingin berteriak jangan. Namun, semua tiba-tiba menjadi sangat silau hingga mataku tidak kuat untuk tetap terjaga.
***
Aku terbangun, seperti ada suara di balkonku. Aku keluar dan aku menemukan seekor anak kucing yang sangat lucu. Aku seperti telah mengalami hal yang begitu rumit, tapi aku lupa apa yang telah terjadi sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar