Sabtu, 16 Februari 2013

I wanna fallin love with you

I wanna falin love with you
Pagi telah datang bersama hangatnya sinar mentari yang berkilauan di atas daun berembun menggantikan malam yang telah seharian terjaga.
    Barisan yang kurang begitu rapi sangat dirasakan oleh setiap mata yang melihatnya tentu. Kaki yang sudah tidak bisa berdiri tegak lagi menunggu-nunggu selesainya apel pagi ini.
    Tapi ini bukanlah akhir, karena akan ada pidato dari Kepala Sekolah yang sudah terkenal akan betah tidak diam bila sudah berada di depan banyak orang.
    Akhirnya, Kepala Sekolah Nurdin menarik nafas dan mulai mengetuk mikrofon. Setelah suara feedback yang cukup menulikan telinga, ia mulai berpidato. “Selamat pagi, anak-anakku tercinta! Pada apel pagi ini saya tidak akan bicara terlalu panjang. Namun, saya akan menyampaikan sesuatu yang sangat menggemparkan!” Ia berhenti sejenak, menunggu aplaus meriah dari para siswanya, ya – seperti biasa – suara tepukan begitu meriah keluar dari mereka.
    Ia menghela napas lega dan buru-buru melanjutkan, “Pengumuman yang akan saya katakan pagi ini adalah tentang dua murid beruntung yang berhasil mendapatkan beasiswa ke sekolah Iwate-ken Jepang.”
    Suara gumaman dan cekikikan tertahan kini benar-benar langsung berhenti bagaikan jangkrik yang kehilangan sayapnya.
    Nafas di lapangan itu sepertinya tertahan, ada siswa yang tidak sabar menunggu apa kelanjutan yang akan dikatakan Kepala Sekolah mereka dan ada juga yang sibuk berbisik-bisik.
    “Ya, berdasarkan laporan dari guru Jepang di sekolah kita Anik Sensei yang telah menguji mereka berdua secara diam-diam mereka sangat layak untuk mendapat beasiswa.” Ia melihat wajah anak-anak di hadapannya yang sepertinya sudah agak kesal karena dirinya terlalu berbelit-belit. “Baiklah, akan kupanggilkan mereka. Palupi dari kelas XI IPA I dan Urfan dari kelas X I!”
    Semua mata kini tertuju pada mereka. Mereka pun tidak menyangka kalau nama mereka telah dipanggil, namun rasa senang dan kaget mereka membawa langkah kaki mereka ke depan.
***
1 September 2010
    Sepanjang jalan dipenuhi dedaunan jatuh berwarna kecokelat-cokelatan. Udara terasa sangat sejuk namun tetap saja terasa sangat dingin bagi kedua remaja itu.
    Jalan kini dipenuhi oleh tiupan angin yang membelai rambut dan memedihkan mata. Bangku putih di tengah jalan kini mereka singgahi untuk beristirahat sejenak setelah jalan cukup jauh dari sekolah untuk mencapai tempat tinggal mereka.
    “Bagaimana hari pertama sekolah kamu?” tanya Palupi memulai percakapan.
    Mereka sudah cukup dekat setelah selama tiga bulan mendapat pelatihan bahasa Jepang dan belajar huruf Kanji di Indonesia. Mereka telah melewatkan musim panas di Jepang.
    “Lumayan.” Jawabnya seperti sedang sakit gigi.
    Ya, Urfan memang sangat sedikit bicara sejak mereka berada di pelatihan. Padahal, Karu sudah berusaha mendekatkan diri namun tetap saja Urfan bersikap dingin padanya.
    “Palupi, eh maksud aku Kakak-“
    “Gak apa-apa panggil aku Palupi juga, kenapa?”
    “Di rambut kakak-“ Urfan menunjuk salah satu sisi rambut Palupi dengan jarinya telunjuknya.
    “Apa? Ada apa?” Palupi meraba-raba rambutnya, namun dia tidak menemukan apapun.
    Urfan menjulurkan tangannya ke arah kepala Palupi. Tangan Palupi yang tadinya berada di kepalanya berangsur turun mempersilahkan Urfan membantunya.
    “Apa sebaiknya aku membiarkan daun yang gugur ini berada di rambut kakak? Di sini aku tidak memiliki banyak uang sehingga aku tidak bisa membelikan kakak sebuah jepitan pun.” Kalimat yang dikeluarkan Urfan tidak diduga-duga oleh Palupi.
    Kini mata mereka beradu, mulut Palupi ternganga mendengar juniornya sedang berkata gombal padanya sekarang. Ingin marah, tetapi hatinya tiba-tiba sangat senang mendengarnya.
    Gigi putih itu terlihat jelas saat Urfan tersenyum yang sejak tadi sepertinya tertahan. “Atau sebaiknya, aku ambil saja daun ini-” Ia kembali mengamil daun  yang ada di rambut Palupi. “-lalu aku berikan kepada kakak.” Ia menarik telapak tangan Palupi dan meletakkan daun itu lekat-lekat di jemari Palupi. “Simpanlah. Ini sebagai tanda aku telah mengatakan hal yang sangat gila hari ini.”
    Palupi tertawa bingung, sepertinya dia sudah gila. Apa yang dilakukan Urfan? Mengapa dirinya begitu merasa senang mendengarnya?
    “Fan, kamu ngomong apa sih? Jangan nakutin aku deh.”
    “Aku nakutin kakak yah? Tadi aku habis belajar sastra. Itu adalah kalimat yang kucontek.”
    Entah merasa lega mendengarnya atau merasa menyesal telah berkata kalau dirinya takut. “Oh, kamu cocok deh jadi artis. Ayo kita pulang!”
***
7 Desember 2010
    Jalan kecil yang biasa mereka lewati kini telah tertutup salju putih yang terlihat sangat tebal. Remang-remang lampu jalan yang mati nyala-mati nyala membantu penerangan mereka.
    Hari ini jadwal mereka di sekolah sangat padat memaksa mereka harus pulang malam di cuaca yang sangat dingin ini.
    Uap putih keluar dari setiap deru napas mereka. “Fan, diem aja?”
    “Kakak juga, sejak tadi diem aja.”
    “Hmm, begini fan.” Ujar Palupi sambil menghentikan langkahnya membuat Urfan pun ikut menghentikan langkahnya. “Ingat kalimat yang kamu contek dari pelajaran sastra?”
    “Um.”
    “Sebenarnya, saat itu aku berharap kalau kamu itu berkata jujur. Tahu tidak, jantungku berdegup kencang saat itu. Tapi, kalimatmu selanjutnya membuatku patah hati. Ternyata kamu tidak benar-benar menyukai kakak.” Jelasnya dengan wajah yang begitu sedih.
    “Benarkah?”
    “Tentu saja aku hanya bergurau! Mana mau aku dengan pria yang pendiam seperti kamu? Aku lelah bila sedang bersamamu, aku menguras seluruh otakku untuk merumuskan apa yang akan aku bicarakan padamu.”
    “Harusnya kakak memahamiku.” Urfan kini meneruskan langkahnya tanpa menunggu Palupi.
    “Fan! Aku hanya bergurau!” teriak Palupi sambil mengejar Urfan yang langkahnya semakin lama semakin cepat.
***
3 Mei 2011
    “Fan! Udah lima bulan kamu ngediemin aku seperti ini!”
    Bunga-bunga yang bermekaran di musim Semi ini sepertinya terkalahkan oleh wajah dingin Urfan yang kini sedang duduk sambil memegang komik duduk di kursi malasnya sambil memunggungi Palupi.
    “Oh lima bulan ya? Selama itu kah?”
    “Akhirnya ada tujuh patah kata yang kau keluarkan untukku.”
    “Bukankah aku ini memang pendiam? Kenapa kakak protes?”
    “Fan, waktu itu aku hanya bergurau. Kenapa diambil serius sih?”
    “Tapi kakak ngomongnya dari hati kan?”
    “Oh Urfan, bukan ini yang aku inginkan setelah akhirnya kamu bicara juga sama aku.”
    “Oh, aku tahu apa yang kakak inginkan.”
    Palupi yang sedang berdiri menegang ditarik begitu saja tangannya oleh Urfan. Jalan yang dikenalnya kini sedang dipijaknya. Bangku putih yang biasanya mereka duduki pun kini terlihat sangat dekat.
    “Duduk!” Urfan mendorong Palupi ke bangku itu dengan pelan.
    “Mau apa?”
    “Mau berbaikan gak, sama aku?”
    Palupi melirik Urfan, dia melihat Urfan sedang tersenyum simpul untuk dirinya sendiri. “Tentu saja mau.” Jawabnya dengan sepenuh hati.
    “Hangat sekali ya? Sama seperti hari-hari yang telah aku lewati bersama kakak. Terasa begitu hangat. Kakak yang sangat cerewet walau aku tidak menanggapi, itu terasa begitu indah terdengar.”
    “Heh, nyindir?” ujar Palupi kesal.
    “Kak, lihat deh!” Urfan menunjukkan bunga sakura yang sedang bermekaran di hadapan mereka. “Bunga itu enggak indah sama sekali.”
    “Dasar, tidak menghargai ciptaan Tuhan!”
    “Bunga itu terlihat tidak indah sama sekali bila gak ada kakak di sampingku. Tapi, karena kakak kini ada di sampingku rasanya sudah lengkap.”
    “Kamu habis belajar sastra lagi?”
    “Aku tidak pernah belajar sastra. Kalimat yang aku ucapkan saat musim gugur lalu, di bangku ini adalah kalimat sebenarnya, tapi kakak adalah gadis bodoh! Tidak mengerti makna tersirat.”
    Palupi tercengang dengan perkataan Urfan. Harus percaya sekarang kah? “Fan, serius ah!”
    “Aku serius. Tahu tidak lagu SuJu yang judulnya lovely day? Seperti ini, ‘My love, everytime I’m thinking about you. My love is you I need you.’ Mm, reffnya seperti ini-“
    “-I wanna hold your hand.” Lanjut Palupi.
    “Everytime I’m thinking about you.”
    “I wanna kiss to your lip?” ujar Karu dengan ragu-ragu.
    “I wanna falin love with you! Kakak, bunga sakura di hadapan kita akan menjadi saksi bahwa aku telah memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku pada kakak. Kupu-kupu yang sedang hinggap di bunga, dan angin yang bertiup membelai perasaanku.”
    “Kenapa?”
    “Pokoknya kakak pasti suka sama aku.”
    “Jangan GR kamu!”
    “Oh kakak gak suka ya sama aku?” tanya Urfan kesal.
    “Engga, kakak suka.”
    “Nah loh, suka kan?” Ledek Urfan.
    “Eh tapi engga!”
    “Bodo akh, ngambek aku.”
    “Jangan.” Rayu Palupi dengan manja.
    Saat mereka sedang bercanda dan sedang berbahagia dengan perasaan mereka, datanglah bayangkan hitam besar di hadapan mereka.
    “Saya mengirim kalian ke sini bukan untuk bermesra-mesraan seperti ini!” teriak Kepala Sekolah Nurdin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar