Senin, 28 Januari 2013

Fan Fiction haha :)

Salah memilih wanita
BAB I WANITA PERTAMA
Gemercik hujan yang terlihat dari dalam jendela terlihat indah namun agak menyeramkan.  Uap-uap di jendela terhembus dari nafas dalam seorang laki-laki tampan agar dapat melihat bayangan dirinya di jendela namun nihil. Kaki itu melangkah menuju meja rias mengambil kaki sebuah cermin dan membawanya mendekati jendela.
    Jalanan terlihat agak tergenang air kira-kira semata kaki. Memang hari yang membosankan setelah pulang sekolah. Di lantai dua, kamarnya berada. Wallpaper kamarnya adalah hati berwarna merah pekat. Juga dengan hiasan bunga-bunga mawar putih. Sungguh rapih dan nyaman.
    Hidung yang mancung, mata dan bibir yang indah, rahang yang kuat dan rambut yang tertata rapih. Sempurna, untuk seorang mahasiswa semester 3. Dia amat mengagumi wajahnya, sehingga dia merasa sombong akan dirinya. Dia merasa dapat menaklukan semua wanita di bumi ini jika dia mau.
    “Harry!” Terdengar suara lengkingan yang cukup memekakan telinga.
    Gagang pintu bergerak ke bawah, kaki yang indah masuk dari luar pintu itu. Celana di atas dengkul yang sobek-sobek, kaos oblong tipis, dan wajah yang aur-auran.
    “Kakak, bisa gak sih sopan sedikit?”
    “Ya elah, kamu itu cuma seorang adik, jadi kakak tuh cuma bertugas untuk menghargai kamu gak perlu hormat. Hehehe.” Wajah Harry nampak sangat kesal dengan ulah kakaknya yang jauh sungguh berbeda dengannya. “Oke-oke, maafin kakak yaah. Harry, kakak pinjam sisir dong!”
    “Memangnya sisir kakak kemana?”
Mengangkat kedua bahunya. “Entah terselip dimana.”
“Haduh, Gemma kenapa kakak gak berubah-berubah? Ingat, kakak itu sudah kuliah semester akhir. Sebentar lagi kakak menikah, bagaimana kakak nanti melayani suami kakak? Bahkan kalau nanti kakak mempunyai anak. Anak kakak bisa buncit di perut, dan kurus di seluruh badan.”
“Sssttt. Nanti kalau kakak sudah menikah kakak akan berubah. Daripada kamu, penjahat wanita. Semua wanita kamu dekati, tetapi tidak ada yang kamu jadikan pacar.” Gemma mencibir.
“Itu namanya mahal kakak. Aku itu harganya mahal sekali. Aku sebenarnya tidak tertarik sama sekali kepada cewek-cewek yang mencintaiku. Mereka itu terlalu murah, tidak boleh melihat cowok tampan sepertiku.”
“Haduh, kamu itu. Kalau kau tidak tertarik pada cewek-cewek yang mencintaimu bagaimana kamu bisa mendapatkan istri kelak? Memangnya ada menikah tanpa cinta? Kamu mau, istrimu tidak mencintaimu?”
Harry nampak diam dengan perkataan kakaknya. Dia berpikir kalau omongan kakaknya ada benarnya juga.
“Kenapa? Kok diam? Bener kan omongan kakak?” kini tangannya bersandar di dinding dengan jari-jari kaki menggaruk-garuk betisnya.
“Siapa bilang omongan kakak itu benar? Sisirku ada di meja riasku. Ambil saja, tidak perlu dikembalikan karena aku akan meminta dibelikan sisir yang baru. Takut-takut rambutmu dihuni kutu. Kakak itu kan cewek yang jorok. Mandi cukup sehari sekali. Itupun kalau tidak libur. Kalau libur?”
“Jangan berbicara begitu sama kakak. Tidak perlu diberitahu pun aku sudah tahu. Oke kalau begitu, kakak ambil yaah sisirnya.” Gemma mengambil sisir lalu buru-buru keluar dari kamar adiknya.
“?“
Hujan kini agak bersimpati kepada mahasiswa yang ingin ngampus dan para kepala keluarga yang ingin bekerja. Hujan turun hanya rintik saja tetapi dapat juga bikin basah. Harry memakai switer tebal dan masuk ke dalam mustangnya. Membawa mustang itu ke kampus dengan supirnya.
    Sesampainya di kampus, hujan cukup deras juga. Harry mengeluarkan payungnya dan bergegas masuk ke dalam kelas. Saat dia membuka pintu kelas, gagang pintu terasa sangat ringan dan ternyata keluarlah seorang gadis manis dari dalam kelasnya. Teman Harry yang biasa disapa Minnie.
    “Aduh, mengagetkan saja.” ujar Minnie sambil tersenyum.
    “Seharusnya gue yang bilang itu ke loe.” Kata Harry penuh penekanan.
    “Loh? Kok jadi marah-marah sih? Gue kan biasa aja.”
    “Udah ah, awas minggir. Ngapain sih keluar-keluar hujan-hujan begini?”
    “Terserah gue dong!”
    Harry tidak menghiraukan Minnie. Dia masuk ke dalam dan duduk di kursinya. Dia mengelap tangannya yang basah terkena tampias hujan dengan tisu. Harry sangat senang di kelas, karena di kelasnya banyak gadis-gadis yang akan diluluhkan olehnya.
    Harry melirik ke gadis paling cantik di kelasnya yang bernama Mona. Dia adalah gadis pertama yang akan diluluhkannya. Di awal kelas dua ini, dia mempunyai misi agar dapat meluluhkan gadis minimal sepuluh. Harry mulai menggeser kursinya ke belakang lalu berdiri dan melangkahkan kakinya menuju kursi di dekat Mona duduk.
    “Hei!”
    “Eh, Harry.”
    “Mon, ada PR gak?”
    “Gak ada kok.” Jawab Mona sambil tersenyum.
    “Oh, gak ada ya. Oh iya Mon, loe mantan kelas berapa?”
    “Kelas C. Loe?”
    “Gue F. Jauh dong yah, waktu semester satu kita? Pantes aja gue sebelumnya gak pernah ngeliat cewek secantik loe.”
    Mona nampak terkejut mendengar Harry mengomentarinya. “Ah, loe bisa aja Harry.”
    “Bisa dong. Tanya semua orang di dunia ini deh, gak ada yang bilang loe jelek.”
    “Makasih ya. Loe juga keren kok.”
    “Masa sih? Loe cewek pertama yang bilang gue keren tau.”
    “Masa sih? Ah, jangan merendah begitu.”
“?“
Di luar, Minnie memainkan hujan dengan telapak tangannya. Telapak tangannya menadangi air hujan yang turun dari langit. Tiba-tiba, terasa ada tangan yang menyentuh bahunya.
    “Aduh, kakak ngagetin aja sih!” ucap Minnie kepada cowok tampan bernama Louis.
    “Ngagetin yaah? Maaf deh…”
    “Ya ampun kak, gak apa-apa kali gak usah pake minta maaf segala.”
    Louis adalah cinta pertama Minnie. Tetapi sampai saat ini Louis belum tahu kalau Minnie mencintainya.
    “Kok mainin hujan sih? Nanti flu loh.”
    “Ah, flu juga gak apa-apa. Nanti virusnya aku sebarin ke kakak.”
    “Woo, jahat. Belum masuk?”
    “Gak tau nih, dosennya belum datang juga dari tadi. Kakak sendiri sudah selesai jam tambahannya?”
    “Aneh aja nih pertanyaannya. Ya iya lah, sudah selesai. Kalau belum selesai, kakak gak bakal bisa ke sini.”
    “Oh iya yaah. Maaf dong.”
    “Gak apa-apa kok.”
    “Lou!!” teriak seorang gadis dari kejauhan.
    “Tuh, dipanggil sama istrinya. Nanti aku disangka mengganggu rumah tangga orang lagi.”
    “Bisa aja kamu! Ya udah, masuk sana nanti sakit!” Louis mengacak-acak rambut Minnie lalu berlari menuju anak perempuan yang memanggilnya.
    Minnie pun masuk ke dalam kelas. Dia melihat Harry duduk di kursinya dan nampak sedang mengobrol dengan Mona.
    “Maaf, permisi yaah. Gue mau duduk.”
    “Tar dulu dong. Nanggung, loe duduk aja dulu di kursi gue. Nanti, kalau gurunya sudah datang baru kita tukeran tempat duduk lagi.”
    Minnie mengambil nafas panjang. Tidak kuat menahan emosi. Namun dia tidak mau memperpanjang masalah ini. Minnie pun langsung duduk di kursi Harry.
“?“
Di kelasnya, Louis sedang berusaha menenangkan pacarnya yang sedang ngambek. Pacarnya bernama Ellanor.
    “Ell, kan sudah berapa kali aku bilang ke kamu kalau aku sama Minnie itu sudah lama berteman, jauh sebelum kita jadian.”
    “Gak mau tau, pokoknya terserah kamu mau ngobrol sama cewek mana pun asalkan jangan sama Minnie. Dia tuh suka sama kamu. Ketauan tau dari matanya, pokoknya aku gak suka kamu bicara sama dia.”
    “Loh, kalau dia suka gak apa-apa kan? Kan hati aku cuma buat kamu.” Louis berkata gombal.
    Ellanor mulai tersenyum. Tetapi Ellanor masih memberikan wajah yang kesal. “Bener?”
    “Serius.”
    “Bener yaa, tapi aku tetep gak suka kalau kamu sering-sering bicara sama dia.”
    “Iya sayangku.” Tangan Louis melingkar di bahu Ellanor sembari mencubit Ellanor dengan gemas.
“?“
BAB II PENASARAN
Hari demi hari terus berlanjut. Dua puluh tiga anak perempuan di tiap kelas yang berbeda sudah dia dekati semua dan berhasil ditaklukannya. Kini, semua anak perempuan itu berharap besar kepada Harry.
    Musim hujan masih berlanjut. Entah mengapa, hujan dua bulan berturut-turut tidak kunjung reda. Di kelasnya, istirahat pun sulit untuk ke kantin. Harry berdiri di depan kelas memainkan air hujan dengan tangannya. Tepat di sampingnya ada Minnie yang sedang memainkan air hujan pula.
    Harry hampir lupa kalau Minnie-lah satu-satunya anak perempuan di seangkatannya yang belum dia dekati. Harry pun tidak mau ada satu gadis yang tersisa. Harry melangkahkan kakinya ke samping mendekati Minnie.
    “Heh, kita jarang ngobrol ya?” ujar Harry basa-basi.
    “Gue gak menyangkal itu.” Timpal Minnie dengan sangat cuek.
    “Padahal kita banyak yang sekelas ya?”
    “Gue gak menyangkal itu.”
    “Pelit banget ngomong sih?”
    “Gue gak menyangkal itu.”
    Harry mulai gusar dengan Minnie. Tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja. mungkin Minnie agak berbeda dengan yang lainnya—atau hanya ingin terlihat berbeda dari yang lain.
    “Hmm, hujan kok tidak kunjung berhenti ya?”
    “Gu—”
    “Jangan bilang ‘gue gak menyangkal itu’ lagi! Karena gue udah tau kalau lu mau bilang gitu. Tapi, gue butuh jawaban yang lain.” Potong Harry tiba-tiba membuat Minnie menoleh kepadanya dan tampak sangat terkejut. “ Hehehe, maksudnya—”
    “Yaudah sih, gak apa-apa. Emang loe bener kok kalau gue mau bilang seperti itu lagi.”
    “Ooh, hmm nanti pulang sekolah mau jalan gak?”
    “Ngapain, hujan begini. Gak ah gak mau, mending tidur di rumah.”
    “Nanti gue teraktir deh.”
    “Di rumah Ibu gue juga masak kok.”
    Harry agak kesal dengan Minnie, karena dia adalah gadis pertama yang menolaknya. Harry berpikir sejenak memikirkan apa yang akan dikatakannya.
    “Main ke rumah gue mau gak? Gue punya kakak, dia itu jorok banget. Yaa, kali aja loe bisa ngajarin dia.”
    “Aduuh Harry, gue gak mau kemana-mana setelah pulang sekolah ini. Gue mau pulang. Titik. Jangan pemaksaan deh, ahh loe itu buat gue gak mood aja sih.”
    Minnie pergi meninggalkan Harry menuju ke toilet. Selama ini Minnie memperhatikan Harry dan dia mengerti mengapa Harry mengatakan itu semua kepadanya. Yaitu untuk menaklukkan semua perempuan di kelasnya. Minnie mengetahui hal tersebut karena hampir semua anak perempuan di kelasnya bercerita padanya kalau mereka menyukai Harry. Kini tinggal Minnie yang bersisa, hal itu karena Minnie berusaha untuk tidak terlihat oleh Harry.
    Minnie terus mendumal sepanjang jalan karena dia merasa sakit hati telah dijadikan bahan cobaan Harry namun Minnie berusaha untuk menjadi prodak yang gagal. Saat dia hendak berbelok, ternyata ada Louis duduk di anak tangga bersama Ellanor. Minnie pun reflek menghentikan langkahnya.
    “Minnie?” ujar Louis. Wajahnya terlihat kaget seperti melihat setan.
    “Eh, kakak. Permisi yah kak, aku mau ke toilet.”
    “Iya. Hati-hati jatuh.”
    Minnie pun melewati Louis dan Ellanor dan menaiki anak tangga satu per satu dengan lemas.
    “Ngapain sih, sok perhatian banget sama dia?” Ellanor marah lagi kepada Louis.
    “Ya ampun, kenapa sih? Dia itu sudah aku anggap sebagai adik aku sendiri, gak lebih.”
    Mendengar apa yang diucapkan Louis, Minnie tambah tidak bersemangat lagi. Seperti tidak ada harapan apa-apa untuknya.
“?“
Minnie agak lama berada di toilet sampai bel istirahat selesai berbunyi agar tidak bertemu dengan Louis dan Ellanor lagi. Setelah bel berbunyi, Minnie buru-buru masuk ke kelas agar tidak terlambat.
    Minnie berlari kecil tidak memperhatiakan lantai yang agak basah karena terkena cipratan air hujan. Jarak dia berada ke kelas kira-kira sepuluh meter. Tiba-tiba, sepatunya terasa menjadi licin sekali seperti sepatu roda. Minnie pun terseret sepanjang dia berada sampai di depan kelasnya. Kebetulan sekali, Harry hendak masuk ke dalam kelas.
    “Awas!!!!!” Minnie meneriaki Harry agar Harry buru-buru menyingkir.
    Tampaknya Harry sengaja tidak menyingkir dan tidak mengindahkan peringatan Minnie. Alhasil, Minnie menabrak Harry dan Harry terjatuh. Minnie tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya dan dia pun turut terjatuh menindihi Harry.
Kini wajah mereka berpapasan. Tiba-tiba, Harry mencium wajah Minnie. Minnie pun sangat kesal diulahnya.
    “Dasar cowok brengsek!!” Minnie tidak segan-segan menampar Harry. Harry tidak marah sedikit pun dia malah tersenyum penuh kemenangan.
“?“
Jam pembelajaran pun usai. Minnie buru-buru keluar kelas karena tidak mau melihat wajah Harry. Ternyata di depan kelasnya sudah aja Louis.
    “Kakak? Ngapain di sini? Nanti diomelin lho sama Ellanor.”
    “Siapa dia? Kamu kan temen kakak sejak lama.”
    “Dia itu pacar kakak.”
    “Mau jalan gak?”
    “Hujan-hujan begini?” Minnie tidak menyangka Louis mengajaknya jalan.
    “Yaa, kita gak ke tempat yang terbuka dong. Gimana kalau kita ke museum?”
    “Waah, sepertinya asyik! Baiklah…”
“?“  
Harry terus memikirkan cara agar dapat meluluhkan Minnie secepatnya. Tamparan Minnie masih terasa di wajahnya, Harry terus mengusap-usap wajahnya.
    “Pak, kita ke museum saja. Saya malas pulang.” Ujar Harry kepada supir pribadinya.
    “Tumben, ngajakin ke museum.”
    “Sekali-sekali ke tempat yang berguna.” Jawab Harry sekenanya.
    Mustang pun melesat dari sekolah ke museum peninggalah sejarah. Sepanjang perjalanan, hujan tidak kunjung berhenti membuat kemacetan terjadi di sepanjang jalan. Sungguh pemandangan yang membosankan.
    Butuh waktu 40 menit, Harry sampai di museum. Di sana pun dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Melihat peninggalan sejarah pun sungguh membosankan. Tetapi, di rumah justru lebih membosankan karena ada kakaknya yang selalu membuat kerusuhan.
    Harry mulai berjalan menelusuri museum. Tiba-tiba, dia melihat seseorang mirip Minnie di museum tersebut. Ternyata memang benar Minnie yang dilihatnya. Namun Minnie bersama seorang cowok.
Harry sangat gusar karena tadi Minne tidak mau diajaknya jalan. Tetapi, dengan cowok lain Minnie mau. Harry penasaran apakah laki-laki yang jalan bersamanya itu pacarnya atau bukan. Harry pun menghampiri mereka.
    “Ehm, hei kita bertemu di sini ya? Gue kira loe mau di rumah aja dengan cuaca yang seperti ini.”
    “Eh, loe Harry. Ya, rasa-rasanya jalan enak juga.” Minnie berusaha untuk menutupi rasa tidak enaknya. “Eh, apa urusan loe emang? Rencana gue berubah kek enggak kek!” Walau bagaimana pun, menolak ajakan Harry adalah tindakan yang sangat benar.
    “Kenalin, gue temen sekelasnya Minnie nama gue Harry. Loe cowoknya Minnie ya?”
    Minnie langsung tersedak saat Harry langsung menduga kalau Louis adalah kekasihnya. Louis langsung menoleh ke Minnie sebentar dan tersenyum.
    “Bukan. Gue adalah sahabatnya. Nama gue Louis.” Jawab Louis dengan tenang.
    “Oo, hujan-hujan begini enaknya tidur di rumah ya, padahal?” sindir Harry kepada Minnie.
    Minnie tersedak lagi, seakan-akan merasa tidak enak terhadap Harry bukan karena telah menolak ajakannya melainkan berbohong pada Harry.
    “Kamu kenapa, kok batuk-batuk terus sih?” Tanya Louis khawatir.
    “Kita pulang sekarang yuk? Sepertinya aku mau flu. Uhuk-uhuk-uhuk!” Minnie berpura-pura batuk.
    “Oh, baiklah. Harry, gue duluan yaah. Senang berkenalan dengan loe.”
    “Ya.” Jawab Harry dengan angkuh.
“?“
Louis mengantar Minnie sampai rumahnya. Louis langsung pulang. Hujan masih mengguyur bumi. Di halaman rumahnya, terdapat mobil pix ford yang sepertinya dikenalnya. Seperti mobil yang dimiliki oleh sahabatnya sewaktu dirawat di rumah sakit selama sebulan empat tahun yang lalu karena usus buntu.
Minnie pun mempercepat langkahnya. Tak sabar akan bertemu dengan empunya mobil tersebut.
Seorang gadis yang berpenampilan sekenanya sudah duduk di ruang tamu rumah Minnie . “Gemma?!” Minnie langsung memeluk gadis yang cantik dan berpenampilan cuek itu.
“Hahaha, Minnie kamu sombong banget sih gak pernah kasih kabar ke aku.”
“Ya ampun Gemma—” Minnie dan Gemma kembali duduk. “—Nih yaah, kita udah lost contact tiga tahun yang lalu. Kamu pindah rumah kan ke sini setelah di Chesire dan aku hubungin telepon rumah kamu kata yang punya rumah kamu sekarang kamu sudah pindah ke London. Tapi, aku kan gak tau…”
“Minnie, aku kan udah ngasih surat ke rumah nenek kamu.”
“Masa sih? Kok nenek aku gak pernah ngasih apa-apa yah? Aa, pasti ini kerjaannya Nanny. Dia kan pelupa stadium akhir. Terus-terus, kamu kok tau rumah aku? Duh, aku jadi malu kamu datang tiba-tiba gini.”
“Aku nanya sama keluarga kamu yang di Chesire.”
“Oh, iya. Bodoh sekali aku bertanya seperti itu sama kamu. Kamu apa? Kuliah ya?”
“Iya, semester akhir. Kamu gak berubah yah, tetap menarik dari dulu.”
“Kamu juga, tetap berantakan.”
Mereka berdua pun tertawa. Mereka berbagi cerita dengan kehidupan yang mereka jalani sekarang ini. Bercerita mengenang selama sebulan di rumah sakit, dan juga tentang kisah percintaan mereka.
“Aku, aku belum punya pacar. Hehehe.” Jawab Minnie malu-malu.
“Aku pun begitu. Menurutku, cowok itu penghambat aku menuju kesuksesan.”
“Ssst! Jangan berbicara seperti itu!”
“Tidak-tidak, aku hanya bergurau.” Gemma buru-buru meralat perkataannya sebelum malaikat mencatat.
“Oh iya, mau tau gak kisah cinta aku seperti apa? Aku punya cinta pertama, dia itu senior. Tapi, sepertinya cintaku ini bertepuk sebelah tangan dan ironisnya dia tidak tahu kalau aku mencintainya amat sangat. Sungguh tersiksa memikul beban cinta ini sendirian.”
“Huu, sungguh menyedihkan.”
“Itu tidak seberapa menyedihkan. Yang lebih menyedihkannya lagi, di kelasku ada anak cowok yang mempunyai penyakit dalam hal bercinta!”
“Woow! Apa-apa? Homosexual? Exsibisionisme? Pedophilia? Kamu pernah jadi korban dia?” tanya Gemma—tidak memberikan kesempatan Minnie untuk menjawab pertanyaannya.
Minnie menahan bahu Gemma agar berhenti bicara. “Bukan-bukan begitu, yaa kalau aku jadi dokter yang ahli-ahli dalam menamai seperti itu, aku akan menamainya brengsexual.” Ucapnya dengan gemas.
Gemma terlihat lebih tenang lalu tertawa.“Loh? Kok bisa begitu? Kamu ditipu sama dia?”
“Tidak akan tertipu.” Jawab Minnie dengan tegas—seperti mengeluarkan sebuah petuah. “Tapi dia ingin menipuku. Hmm, jadi gini. Menurut penelitianku, dia itu suka memainkan perasaan anak perempuan.”
“Sepertinya menarik, coba ceritakan secara rinci.” Gemma kini yampak sangat antusias.
“Ya, semua anak perempuan di kelasku menggila-gilainya. Aku tidak tahu apakah hanya di kelas ataupun di luar kelas atau entah dimana-mana mungkin. Ya, dia hanya memberikan sebuah harapan besar dengan sejuta pesona yang dimilikinya.”
“Terus?”
“Ya, semua anak perempuan di kelasku sudah terpanah asmara sama pesona dia, sekarang dia ingin melakukan itu ke aku. Menurutmu, cowok seperti itu enaknya digimanain ya?”
“Hmmm,” Gemma Nampak berpikir sejenak. Dia menggaruk-garuk batang hidungnya yang tidak gatal sama sekali. Sesekali menggaruk kepalanya yang benar-benar terasa gatal. Gemma merasa anak laki-laki yang diceritakan oleh Minnie seperti adiknya, Harry. “Baiklah, cowok seperti itu sebaiknya yaa jangan dikasih kesempatan! Ya, itu.”
“Haduuh, kamu memang tidak berpengalaman sekali soal cinta. Itu pun aku tahu, tenang saja aku tidak akan beri dia kesempatan. Jujur, dia memang tampan.”
“Sudah, jalani saja seperti air mengalir. Ngomong-ngomong, rumahmu kenapa sepi sekali? Tadi, saat aku kemari tetanggamu yang memberikanku kunci. Kemana orangtua dan adikmu?”
“Mereka di Chesire Gemma. Aku tinggal sendiri di sini. Hehehe, tapi ini menyenangkan.”
“Ooo, begitu ya? Oh iya ini alamat rumahku.” Gemma memberikan secarik kertas yang sudah berisikan alamat rumah Gemma. “ Aku mau pulang dulu, jangan lupa main ya!”
“Baiklah, hati-hati…”
Sepulangnya Gemma, kini Minnie melepas seragam sekolahnya dan mengganti pakaian. Dia duduk di kursi belajarnya. Membuka-buka buku diarynya. Buku diary berwarna biru laut. Dibacanya satu per satu.
9 April 2009
Hari ini adalah hari yang paling amazing buat gue. Gue akhirnya menemukan cinta pertama gue. Namanya Louis. Waah, pertama melihatnya gue langsung deg-degan. Matanya memancarkan cinta, senyumnya menyayat hati.  Hahaha, pertama gue melihat dia di spion skuter gue. Aneh yah, jatuh cinta di spion skuter. Ya, begitulah adanya. Lalu kami berhenti di New Oxford Street. Di sana aku terus memperhatikan dia. Aku berharap banget dia juga merasakan hal yang sama dengan gue. Tapi-tapi, dia sudah punya pacar belum ya?
11 April 2009
Waduh, malam ini adalah malam yang paling indah bagi gue. Mungkin ini adalah malam untuk gue dan kak Louis lebih dekat. Gue sms-an sama dia. Waah, padahal Cuma sms-an tapi sungguh senangnya hatiku. Haah, aku bertekat mulai saat ini aku akan menyimpan sms-nya di folder sim handphoneku. Haah, my first love… ?
25 April 2009
Hari ini lucu banget deh, aku mentraktir dia makan di Pizzeria Bella Italia dalam rangka traktir kecil-kecilan merayakan ultah. Aku tahu dia akan mengajak cewek berkencan di restoran italia. Tapi dia tidak kunjung mengajakku, jadi aku traktir dia sebagai ajakan kencan. Padahal ultah aku 19 April, tapi sempatnya tanggal 25. Kebetulan itu adalah weekend. Dia berkata padaku, “Dua porsi ya?” Lalu aku bilang. “Iya, piringnya aja ya. Hehehe.” Dia tertawa. Lalu, setelah selesai mentraktir dia menjabat tanganku dan berkata, “Selamat ulang tahun yaa, makasih dan traktir.” Lalu aku bilang, “ Iya sama-sama. Mana kadonya?” lalu dia berkata, “Silahkan piring dan garpunya diambil.” Haaah, tidak-tidak-tidak!!! Aku teramat menyukainya. Bulan April adalah bulan yang paling indah buat gue. Gak nyesel gue lahir di bulan April.
28 Mei 2009
Aku sedih. Ingin menangis, tetapi apa yang harus ku tangisi? Dia tidak salah apa-apa. Malam-malam aku sms-an sama dia. Tapi dia bilang dia mau balikan sama mantannya besok. Jadi telah terjawab kalau dia belum memiliki kekasih, tapi esok hari dia akan memiliki seorang kekasih. Kekasih yang cantik dan jauh lebih sempurna dari gue. Namanya Hannah. Aku tidak mau menumpahkan air mataku di buku diary ini…
29 Mei 2009
Buku diary, maafin aku yaa… Akhirnya aku memberikanmu setetes air mataku. Habisnya, sudah aku sakit hati kalau dia balikan sama mantannya. Ehh, tadi sahabat kak Louis memberikan sebuah video. Tau gak kamu video apa? Video proses kak Louis nembak Putri. Haduuh, selalu terngiang-ngiang di mataku. Maaf aku membanjirimu dengan air mata kesedihan. Tapi, aku mau curhat sama siapa lagi. Ahh, pokoknya aku gak mau sms dia lagi ah. Aku gak mau terlalu sakit hati.
4 Juni 2009
Oalaah, tadi kak Louis menoleh kepadaku saat Pensi di kampus… Aku ingin mengabaikan tetapi tidak bisa. Kenapa dia harus melakukan hal itu kepadaku? Ahh, gue aja yang terlalu berlebihan. Tapi gue seneng tadi dia begitu, tapi akhirnya gue sedih karena harapan gue pupus…
14 September 2009
Hari ini gue kembali sms-an sama kak Louis. Aku seneng banget kalau dia sudah putus sama Hannah Dia ternyata telah dibohongi sama Hannah ternyata Hannah balikan sama mantannya yang lain. Haaah, tapi gue terlambat tauu, dia jadian sama seorang cewek bernama Demi. Ya ampun, ampun makan ati mulu dah gue. Ahh, tapi gak apa-apa deh. Mulai sekarang gue gak boleh sedih kalau kak Louis pacaran sama cewek lain. Hhaaah, tapi sedih juga. Ah, tapi tidak berhubungan sama dia itu lebih menyakitkan. Jadi, tak apalah…
24 Oktober 2009
Hari ini gue sedih banget. Gue sampe nangis di sekolah Cuma gara-gara kak Louis. Tau gak kenapa gue sedih banget? Gue kan mau minta tolong untuk temenin ke tempat observasi untuk karya ilmiah gue. Dia mau, tapi dia ingkar. Seharian ini di sekolah gue ada pensi lagi, gue tuh sampe pusing banget cariin dia di kampus. Setelah ketemu gue bertanya kapan, dia bilang nanti, dia bilang nanti, nanti-nanti terus deh. Sampe saatnya tiba, gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri dia malah ngeboncengin temennya. Ya ampun, gue udah capek-capek nungguin dia. Niat gak sih nolongin?? Yaah, gue udah gak tahan ngebendung tangisan gue dari tadi, ya udah deh gue nangis deh. Temen-temen gue pada nanya kenapa, gak gue jawab. Tapi, barusan dia sms gue. Dia sms gue ngejelasin. Katanya tadi dia udah balik lagi, dia itu nganterin temennya dulu, setelah dia balik lagi ke kampus guenya udah gak ada. Yaa, itu karena gue udah pulang. Entah dia benar atau tidak, gue memaafkan kok. Tapi gue nyesel karena gue udah nangis… Yaa, huft. Gue Cuma bisa bilang gitu deh!! >_<
Minnie tersenyum membaca buku diari itu. Dia tidak menyelesaikan semua, ditutupnya buku diary itu. Minnie menempelkan kepalanya di buku diary itu, dia hanya bisa menyesali dan hatinya sesak karena dia tidak bisa menyampaikan cintanya. Sampai dia memiliki cukup keberanian, dia terlambat lagi. Louis kini bersama Ellanor dan nampaknya Louis sangat mencintai Ellanor.
Minnie tertidur di meja belajarnya. Tiba-tiba, terdengar suara gedoran pintu yang cukup keras membuatnya terbangun. Minnie agak kesal, lalu dia keluar dengan langkah lebar-lebar hendak memarahi orang di luar sana. Dia berjalan cepat menuju pintu rumahnya. Saat dia membuka pintu rumahnya, terdapat cowok tinggi, rapih, dan cukup tampan namun menyebalkan ada di depan rumahnya.
“Harry?” Minnie membelalakkan matanya.
“Kenapa? Kaget ya, ada gue?”
“Dasar orang gak tau diri!! Hey!! Loe itu gak punya sopan santun yaa! Kenapa sih loe gedor-gedor pintu rumah orang? Bikin kaget gue aja!”
“Hei, gue ini tamu. Tamu itu harus diperlakukan seperti raja, dijamu, atau dilayani sebaik mungkin.”
“Siapa yang ngundang loe sebagai tamu gue?”
Tanpa menjawab pertanyaan Minnie, Harry masuk saja ke rumah Minnie. Minnie tidak bisa menghentikan Harry. “Kenapa bisa kaget gitu?”
“Heheheheheyyyy!! Jangan masuk!!”
“Berisik deh!”
“Kok jadi gue yang dibentak?! Ini kan rumah gue?! Uuh, nyebelin banget!! Kepala loe keras banget sih!!”
Kata-kata Minnie tidak diindahkan oleh Harry. Harry malah duduk di kursi rumahnya dengan tangan berleha-leha.
“Ampun deh nih orang. Siapa suruh loe duduk di kursi?”
Mendengar ocehan Minne, malah membuat Harry senang. Harry langsung berdiri dan menuju ke kamar Minnie. Minnie semakin geram, Minnie pun tidak bisa menahan amarahnya lagi. Minnie mencolek bahu Harry, Harry pun menoleh dan Minnie meninju hidungnya sampai pingsan. Minnie bingung sendiri, dia tidak berniat membuat Harry sampai pingsan.
“Aduh, gawat! Kenapa harus pingsan sih? Yah, hidungnya berdarah. Gue jahat ya?”
Tubuh Harry jauh lebih besar dari tubuhnya, tidak mungkin Minnie menggotong Harry sampai ke tempat tidurnya. Lalu dengan perlahan Minnie menarik tangan Harry dan menaikkannya ke tempat tidur. Minnie menutup buku diarynya.
Minnie pergi ke dapurnya untuk mengambil kompresan. Lalu Minnie kembali ke kamarnya. Minnie jadi tidak enak hati karena ulahnya sendiri.
Minnie membersihkan darah yang keluar dari hidung Harry. Sejenak dia memperhatikan wajah Harry. Cukup tampan, dan dia memang pantas untuk disukai banyak wanita. Minnie berpikir sambil memperhatikan wajah Harry. Apakah semua wanita yang kini diluluhkan olehnya, selalu didatangi rumahnya.
Saat Minnie sedang melamun, tiba-tiba tangannya sudah digenggam oleh Harry. Cukup lama dan Minnie belum sadar juga. Saat Minnie sadar, dia berancang-ancang untuk meninju Harry lagi.
“Apa kau setega itu?” Ujar Harry berhasil menghentikan niatnya.
Minnie langsung menarik tangannya. “Habisnya loe lancang banget! Dasar cowok brengsek!”
“Kenapa sih, loe kok ngatain gue cowok brengsek terus?”
Minnie tidak bisa menjawab karena memang dia tidak pantas untuk menjuluki Harry sebagai cowok brengsek. Harry belum pernah mempermainkan perasaannya dan dia belum tahu apa maksud Harry yang sebenarnya yang sekarang dilakukan untuknya.
“Hmm, karena—karena—haah, gue gak harus menjawab pertanyaan loe kan?”
“Harus!”
“Gak mau!”
“Baiklah cewek keras kepala!! Ngomong-ngomong, tinju loe kuat juga ya. Sakit banget! Eh, orang tua loe kemana?”
“Mereka gak tinggal di sini.”
“Terus?”
“Di Cheshire. Udah deh, sebaiknya loe pulang sekarang.”
“Gak mau!”
“Loe tau dari mana rumah gue?”
“Dari satelit.”
“Haah?”
“Dasar cewek bodoh, ya gak mungkin laah!! Tau aja, apa sih yang gak gue ketahui? Gue boleh nanya gak?”
“Tentang apa?” Tanya Minnie balik—dengan ketus.
“Loe galak juga ya?!”
“Udah cepat!!”
“Kenapa loe benci banget sih sama gue? Emangnya gue udah jahat ya sama loe?”
Kini Minnie tercekat lagi. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Harry lagi. Dia hanya tahu kalau Harry adalah cowok playboy yang hanya memberikan harapan besar ke banyak wanita. Tetapi, tidak enak sekali kalau dia berkata jujur seperti itu.
“Karena—loe itu, nyebelin!”
“Nyebelin? Nyebelin dari mana? Gue selalu berlaku sopan sama loe.”
“Pokoknya bagi gue loe itu menyebalkan! Udah deh, sebaiknya loe pulang!!”
“Gak mau!” Harry malah menarik selimut dan menutupi dirinya.
“Haah, ya sudah terserah loe aja.”
Minnie keluar dari kamarnya. Dia membiarkan Harry berada di tempat tidurnya. Minnie menuju ke ruang televisi dan menonton televisi. Lama-lama, Minnie menyetel DVD Hannah Montana.
Tiba-tiba, Harry duduk di sampingnya. Minnie sudah lelah bertengkar terus dengan Harry dan rasanya tidak enak juga kalau dia selalu bersikap seperti itu kepada Harry.
“Nonton Hannah Montana? Itu film kan udah lama banget.”
“Itu bukan film tapi drama seri.” Sanggah Minnie dengan ketus.
“Dasar cewek.”
“Loe tau dari mana kalo ini drama udah lama banget?”
“Kakak gue suka nonton yang beginian.”
“Oh. Pulang sana!”
“Ternyata loe serius ya, gak nyaman gue ada di sini dan loe gak mengharapkan gue sebagai tamu loe. Baru tau gue kalau ada cara baru memperlakukan tamu seperti yang loe lakukan ke gue. Kalau gak suka sama gue, langsung saja bilang. Jangan memberitahu gue lewat perlakuan loe itu. Gak apa-apa kalau loe memperlakukan itu ke gue, asalkan jangan ke orang lain. Gak baik.”
Minnie berpikir keras akan kata-kata Harry barusan. Itu terbukti sangat-sangat benar adanya.
“ Harry tunggu!” Ujar Minnie saat Harry sudah berada di depan pintu rumahnya.
Harry tersenyum penuh kemenangan sambil memungguni Minnie. Lalu perlahan menoleh dengan wajah yang sangat menyebalkan. “Kenapa?”
“Maaf ya.”
“Iya, gak apa-apa kok. Yaudah, gue pulang yah!”
“Harry!” Saat Harry sudah berada di depan pintu rumahnya. memanggil Harry lagi dan Harry menoleh lagi. “ Hati-hati.”
“?“
BAB III PERASAAN YANG BELUM PERNAH ADA
Entah mengapa hujan tidak reda-reda, banyak pepohonan yang layu karena kurang sinar matahari. Walaupun hujan tidak kunjung reda, sekolah harus tetap berjalan.
Minnie sedang berjalan menuju kelas, Minnie membawa payungnya yang berwarna biru. Di tengah jalan menuju kelas, Minnie menginjak tali sepatunya sendiri dan dia pun terjatuh. Angin yang berhembus cukup kencang menyebabkan payungnya terbang. Lututnya terluka, Harry yang sejak tadi menunggu kehadirannya saat melihat Minnie terjatuh langsung berlari untuk menolongnya. Harry membawa payungnya.
“Minnie, loe gak apa-apa?”
“Ngapain loe nolongin gue?”
“Dalam keadaan seperti ini pun loe masih berlaku seperti ini ke gue. Sudahlah, ayo!”
Harry langsung memapah Minnie menuju ruang kesehatan. Seragam Minnie basah kuyub. Luka di lututnya cukup serius. Minnie duduk di kursi dan Harry mengambil banyak tisu dan mengelap seragam Minnie yang basah. Minnie melihat perlakukan Harry tidak seperti ingin memainkan perasaannya, tetapi menolong dengan ikhlas.
Lalu Harry mengambil obat merah dan pembalut luka dan mengobati lutut Minnie yang terluka. Minnie terus memperhatikan Harry yang saat ini sedang teramat perhatian padanya, saat Harry mendongakkan kepala untuk melihat Minnie, mata mereka berpapasan.
Tangan yang sedang membersihkan luka Minnie langsung berhenti sejenak. Tiba-tiba, jantung mereka terasa berdebar-debar. Mereka sangat bingung dengan perasaan tersebut.
“Loe, bisa bersihin sendiri?” Harry menyodorkan beberapa botol obat dan kapas kepada Minnie.
“Oh, bisa-bisa.” Jawab Minnie tanpa ragu—mereka merasakan hal yang sama.
Harry pindah ke kursi yang lain dan memunggunginya. Dia sangat bingung dengan perasaan yang dia rasakan barusan. Selama dia mendekati banyak wanita, tidak pernah ada perasaan apa-apa yang begitu amat menyenangkan seperti yang dia rasakan barusan.
Harry memberanikan diri untuk menoleh ke Minnie dan saat itu Minnie sedang menatap ke arahnya. Lalu, detak jantungnya semakin kencang saja. tubuhnya lemas dan nafasnya tidak teratur.
“Harry?” Minnie memanggilnya dengan lembut. Saat mendengar namanya disebut oleh Minnie, jantung Harry serasa akan copot.
“Cukup! Jangan panggil gue lagi!” reflek Harry mengucapkan kata-kata yang mungkin tidak dimengerti Minnie. Harry menyumpah-nyumpahi dirinya. “Bodoh!!”
“Kenapa emangnya?” Minnie sangat bingung.
“Enggak, gak jadi. Tadi, gue lagi ngelamun. Ya, kenapa? Loe mau ngomong apa?”
“Gak, gue cuma mau bilang terima kasih.”
“Hahaha, orang seperti loe ngerti terimakasih juga.”
“Aaah, dasar orang yang paling menyebalkan!!”
“Oh iya, nanti mau gak main ke rumah gue?”
“Gak mau!”
“Pasti kalau yang mengajak loe Louis loe mau kan?”
“Loe bicara apa sih?”
“Maaf kalau gue lancang. Waktu gue di kamar loe, gak sengaja gue liat buku diary loe dan gue baca. Hebat yah, buku diary loe itu semua isinya adalah tentang Louis. Loe seharusnya buka mata loe, dia itu gak milih loe. Simpelnya, cinta loe bertepuk sebelah tangan. Coba loe pikir, menurut gue loe itu adalah cewek terbaik untuk dia tapi dia gak pernah milih loe sama sekali untuk jadi pacarnya. Loe itu setia banget sih? Tapi kesetiaan loe itu di atas kebodohan. Kebodohan menunggu orang yang bukan untuk loe.”
Mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan Harry, hatinya serasa teriris sembilu. “Loe emang bener Harry. Tapi, emangnya loe gak liat tanggalnya apa? Itu tuh udah lama banget! Dan sekarang gue sudah gak suka lagi sama dia.”
“Bohong.”
“Iih! Loe itu emang nyebelin banget sih!!”
“Itulah gue. Oke, gue ke kelas ya. Sepertinya dosen sudah masuk sejak tadi, loe jangan lama-lama nanti absent!”
Harry pergi meninggalkan Minnie sendiri di ruang kesehatan—salah satu cara menghilangkan rasa kesalnya yang datang tiba-tiba setelah membahas buku diary. Minnie memikirkan kata-kata Harry. Dia menunduk sedih.
“Haah, kenapa yang dia ucapkan itu semuanya benar? Haduuh, bodoh banget sih gue! Kenapa kalau di hadapan dia gue gak bisa berkutik, gue gak bisa menimpali apa yang dia omongin. Bodoh-bodoh-bodoh!!! Ehh, enggak! Gue pinter!” ralat Minnie.
“Dia itu siapa?”
Minnie sangat terkejut dengan suara yang tiba-tiba muncul di telinganya. Suara yang tidak asing, Minnie pun menoleh ke sumber suara.
“Kakak? Aduh!! Mengagetkan saja!”
“Ngapain kamu bicara sendirian gini di ruang kesehatan?” Louis menghampirinya.
“Jangan mendekat! Jangan mendekat! Jangan mendekat!!”
Louis sangat bingung dengan yang dibicarakan Minnie, apa yang dimaksud dengan ‘Jangan mendekat!’? Louis pun tetap menghampirinya.
“Aduh kakak, kan aku bilang jangan mendekat! Kenapa sih tetap mendekat?”
“Memangnya kenapa kalau kakak dekat-dekat kamu?”
“Nanti diomelin sama Ellanor.”
“Siapa yang diomelin?”
“Kakak.”
“Hahaha, enggak kali.” Kata Louis menenangkan.
“Oh iya Kak, aku mau tanya sama kakak nih. Kakak tau gak 9 April 2009 itu hari apa?” Tanya Minnie malu-malu.
“Hmmm, hari apa ya? Gak tau deh, tapi yang jelas hari Jum’at. Emang kenapa?”
“Iih, salah siih. Tapi hari Kamis. Gak, itu kan hari pemilu.” Minnie sedih karena Louis tidak mengingat kalau itu adalah hari dimana mereka pertama kali bertemu. Ya, memang special untuk Minnie tetapi tidak special untuk Louis. Jadi besar kemungkinan Louis tidak mengingatnya.
“Oh iya, salah. Maaf yaa, hehehe. Ooh, pemilu toh kirain apaan.”
“Ya, gak cuma pemilu aja sih kak. Itu kan hari dimana kita pertama kali ketemu. Pertama aku ngeliat kakak, dan kakak ngeliat aku.”
“Emang iya? Di mana?”Louis Nampak sangat kebingungan.
Minnie menghela nafas. Ternyata pertemuan itu benar-benar tidak berkesan sama sekali untuk Louis. “Itu loh, yang di Oxford Street masa kakak gak inget?”
“Oh, itu. Yang kakak pakai sweater sama boxer aja itu?”
“Nah! Iya, itu yang di depan situ.” Minnie agak antusias setelah Louis terlihat sudah mengingatnya.
“Iya, emang pertamanya sebelum ke jalan itu di halte dulu kan berhentinya kita?”
“Akhirnya, kakak inget juga.” Minnie tertawa kecil.
“Inget laah, kan kakak masih muda.”
“Tau gak sih kak, aku tuh gak bisa lupa sama tanggal itu. Entah kenapa, padahal aku tuh paling susah nginget tanggal. Oh iya, aku tuh suka nyimpen sms dari seseorang di folder.” Minnie berusaha membuka apa yang telah dia rahasiakan untuk Louis.
“Hmm, biasanya kalau gak bisa lupa sama tanggal, tanggal itu berarti berkesan. Emangnya pertama kali ketemu berkesan apa? Oh iya, sms dari siapa tuh yang disimpen di folder?” Louis meledek Minnie.
“Hmm, berkesan gak yaah? Sms dari siapa ya? Gak tau dua-duanya deh kak aku jawabannya.”
“Jyaah, kamu mah aneh. Eh, kakak ke kelas lagi yaah. Kamu sakit apa ngomong-ngomong?”
“Tadi aku kehujanan, cuma mau ngeringin baju doang kok. Ini juga dikit lagi kering.”
“Yaudah, kakak ke kelas dulu yaa!” Saat Louis hendak berbalik, tiba-tiba Minnie menarik tangan Louis. Louis pun menghentikan langkahnya, dia memutar tubuhnya ke Minnie.
“Kakak, ik houk van jou.”
“Apaan artinya?”
“Sana ke kelas gih!!”
“?“
BAB IV JATUH CINTA PADANYA
Harry melangkahkan kakinya menuju kamar kakaknya. Sudah lama sekali Harry tidak berkunjung ke kamar kakaknya. Menurutnya, kamar kakaknya terlalu menyeramkan. Semua tidak ditaru selayaknya. Tetapi, dia harus berbicara pada kakaknya karena dia bingung dengan apa yang sedang dirasakannya.
    Harry mengetok pintu kamar Gemma. “Masuk!!”
    “Kak, bisa keluar sebentar?”
    “Gak bisa, sini aja masuk. Gak ada kecoa kok. Kamar kakak biar berantakan tapi bersih.”
    “Bener?”
    “Serius!”
    Harry pun dengan ragu-ragu mendorong kakinya untuk masuk ke kamar kakaknya. Terasa sangat berat tetapi itu adalah keharusan. Akhirnya Harry berhasil memasukkan dirinya ke kamar Gemma yang menurutnya seperti rumah kosong karena banyak sarang laba-labanya.
    “Kakak joro—”
    “Ini adalah wilayah kakak, jangan banyak komentar atau kamu bisa masuk gak bisa keluar!” Ancam Gemma.
    “Baiklah. Kak, aku mau tanya nih sama kakak. Kalau jantung berdebar-debar saat dekat dengan seorang wanita itu namanya perasaan apa?”
    “Cinta.”
    “Masa sih? Tapi itu gak mungkin, seharusnya dia yang cinta sama aku kakak! Lagipula, aku gak mungkin mencintai cewek yang galak seperti dia.”
    “Hahaha, semua berbalik ya?” Gemma tertawa sangat puas.
    “Sepertinya iya.” Harry tertunduk malu.
    “Ya sudah, seriuslah sama dia. Memangnya dia seperti apa sih, sampai-sampai kamu yang terkena sihir cintanya?”
    “Dia gak mempesona, dia gak menunjukkan sesuatu yang membuat aku bisa jatuh cinta sama dia. Dia itu sedikit tomboy dan banyak galak, juga keras kepala. Pokoknya semua sifat yang dimilikinya tidak ada yang bagus.”
    “Dia berbeda kan dari wanita-wanita yang sudah terpanah asmara sama kamu?”
    “Iya, dia itu susah banget dideketin. Setiap aku bicara pada dia, aku pasti diomelin. Padahal aku kan gak punya salah.”
    “Ya, intinya kamu itu sudah jatuh cinta sama dia. Saran kakak, ya seperti yang kakak katakan tadi seriuslah padanya.”
    “Itu yang buat aku berpikir. Sepertinya dia sangat membenciku. Bagaimana aku bisa membuatnya jatuh cinta padaku?”
    “Selalulah hadir di kehidupannya. Hahahaha, kakak bisa juga bicara soal cinta. Tapi, itu memang benar.”
    “Ya, kata-kata kakak memang benar. Aku harus selalu hadir di kehidupannya. Baiklah, terimakasih kakak!!”
    Harry langsung melompat dan melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar dari kamar kakaknya.
    “Harry!! Jangan lupa ajak dia!! Kakak penasaran seperti apa gadis itu!” Teriak Gemma.
    “It’s easy!!” Harry mengedipkan sebelah matanya sebelum menghilang dari pandangan Gemma.
“?“
Hari ini hujan dapat diajak kompromi. Namun, awan kelabu di langit masih enggan pindah menghalangi matahari. Minnie sedang mengobrol dengan teman-teman sekelasnya. Tiba-tiba, Harry menarik tangannya menjauh dari teman-temannya.
Semua teman cewek sekelasnya iri dengan Minnie namun di antara mereka tidak ada yang berani mengutarakannya bahkan lewat sikap sekalipun.
    “Iih, apa-apaan sih loe Harry!”
    Minnie memukul-mukul tangan Harry namun Harry tidak berkutik sedikit pun. Harry membawanya ke ruang kesehatan. Lalu Harry menutup pintu dan menguncinya.
    “Harry, loe mau ngapain?” Minnie sudah ketakutan.
    “Gue suka sama loe Minnie.”
    Minnie kaget dengan kata-kata Harry yang terang-terangan. Di dalam benaknya muncul banyak sekali pertanyaan.
1.    Apakah Harry bersungguh-sungguh? Tentu saja jawabannya tidak.
2.    Apakah Harry mengatakan semua ini kepada semua wanita yang didekatinya? Tentu saja jawabannya ya.
3.    Lalu apakah yang harus dikatakan Minnie? Tentu saja jawabannya………
“Tidak!” Minnie berteriak sejadi-jadinya.
“Kenapa tidak?”
“Harry, loe kira gue gak tau apa? Loe itu Cuma mau mainin perasaan gue doang kan? Sama seperti yang loe lakuin ke semua anak perempuan di kelas kita. Tenang aja, gue gak akan mempan sama kata-kata loe barusan. Gue tau itu adalah salah satu trik untuk membuat gue luluh ke loe. Sayang sekali itu tidak berhasil ke gue. Dasar cowok brengsek!”
“Oh, jadi ini alasan loe kenapa loe selalu bersikap sinis ke gue. Inget Minnie, gue pun manusia yang bisa merasakan jatuh cinta dan asal loe tau kalau loe itu cewek pertama yang bisa bikin gue—jat—jat—jat—” Harry tidak meneruskan kata-katanya, dia membalikkan badannya dan membuka kunci pintu ruang kesehatan.
“Tunggu!” ujar Minnie menghentikan langkah Harry. Harry lagi-lagi tersenyum senang.
“Ada apa lagi?”
“Itu—itu. Hmm, kata-kata gue tadi gak sepenuhnya benar kok. Maaf yah, gue udah ngambil kesimpulan segitu cepet. Mungkin loe gak sebrengsek yang gue tau.”
“Terus?”
“Terus apa?”
“Jawaban loe apa?”
“Jangan harap gue mau menjawab yaa!!” Minnie meneriaki Harry.
“Itu yang gue suka dari loe!” Harry kini keluar dari ruang kesehatan.
“Maksudnya?” Minnie sangat bingung.
Minnie pun tidak mau memikirkan kata-kata Harry. Jam sudah menunjukkan pukul 7.15, lima belas menit lagi dosennnya masuk kelas. Minnie pun harus keluar dari ruang kesehatan.
“?“
Siang ini, Louis dan Ellanor sedang duduk di taman sekolah. Ellanor nampaknya sangat menyayangi Louis. Dia terus-terusan merangkul tangan Louis, bersandar di bahu Louis.
    “ Oh iya, sayang. Aku mau bilang sesuatu ke kamu.”
    “ Apa itu?”
    “ Ik hound van jo.”
    “ Artinya?”
    “ Ada deh, kamu cari tau sendiri aja.” Ujar Ellanor nakal.
    “ Oo, sekarang kamu gitu yaa mainnya…”
    “ Sayang, pokoknya setelah kita lulus SMA aku maunya langsung nikah sama kamu.”
    “ Haah? Nikah? Gak salah denger? Kita kan masih muda banget. Lagi pula emangnya kamu gak mau kuliah apa?”
    “ Kan bisa sambil kuliah. Aku gak mau nanti kita putus. Pokoknya aku itu berjodoh sama kamu.”
    “ Jangan gitu dong sayang…”
    “ Ahh, bodo! Kalau kamu gak nurut aku bunuh diri!”
    “ Yaudah deh, terserah kamu aja. Tapi, nanti jangan nyesel ya nikah muda!”
    “ Gak kok!!” Ellanor mencium pipi Louis.
“?“
Hujan kini turun lagi. Cukup deras pula. Anak-anak di kampus sudah bubar semua kecuali Minnie dengan Harry. Mereka berdua ditugaskan membuat mading.
    “ Haduuh, kenapa gue harus ditugaskan sama loe sih?”
    “ Kenapa emangnya?”
    “ Kenapa gak sama yang lain aja gitu?”
    “ Sama siapa?” Harry memeperkan lem ke wajah Minnie.
    “ Aaah Harry!!! Kan lengket! Ih, nyebelin!”
    Minnie mengambil spidol permanen berwarna hitam untuk membalas perbuatan Harry. Minnie kira Harry akan menghindar namun ternyata tidak.
    “ Kenapa gak menghindar?”
    “ Balas saja. Gue gak mau jadi pengecut.”
    “ Benar ya?!”
    Minnie pun berdiri di hadapan Harry yang sedang duduk. Lalu dia membuat kumis di wajah Harry, membuat jenggot, dan lingkaran di kedua pipi Harry. Minnie pun tertawa tidak tahan menahan geli yang mengelitik hatinya melihat wajah Harry yang seperti badut kini.
    Sejenak mata mereka bertatapan, Minnie menangkap tatapan tulus dari mata Harry. Minnie mengusap wajah Harry yang habis dicoretinya. Harry memberikan senyum terbaiknya. Minnie lama-lama mengusap wajah Harry semakin keras. Harry pun bingung.
    “ Harry, maafin gue! Ternyata spidolnya permanen!”
    “ Apa?!” Harry kaget bukan main.
    “ Tunggu, tunggu. Gue ambil alcohol sama kapas dulu yaa. Hehehe, jangan marah…” Minnie menunjukkan dua jarinya bersimbol peace.
    Minnie pun tidak lama mengambil alcohol yang ada di lemari kelasnya. Lalu, Minnie menarik kursi sehingga mereka kini saling berhadapan.
    “ Maaf ya Harry, gue gak tahu kalau spidolnya permanen.”
    “ Tidak apa-apa.”
    Harry menatapnya sangat dalam. Dalam, dalam, dan dalam. Kini Minnie merasakan jantungnya hampir copot karena debarannya sangat kuat. Kini Harry mendekatinya, dekat, dekat dan hampir sangat dekat.
    ‘ Mau apa loe? Awas saja kalau berani-berani…’ Namun Harry tetap mendekati Minnie. ‘ Dasar cowok! Selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan!!!’ Minnie terus berteriak dalam batinnya.
    Tetapi itu tidak berfungsi baik, Harry tidak akan mendengar isi hatinya. Minnie pun langsung melempar cairan alcohol ke tubuh Harry sehingga bajunya kini basah.
    “ Dingin!” Harry mengeluh.
    “ Bersihkan saja sendiri wajah loe!” Minnie melemparkan kapas kepada Harry.
    Minnie ingin keluar untuk mencari udara. Saat dia membuka pintu, pintunya macet alias tidak bisa dibuka. Dia melihat jam di handphonenya ternyata sudah jam enam. Pasti sudah dikunci oleh penjaga sekolah. Minnie menggedor-gedor pintu dan berteriak ‘OPEN THE DOOR!!’.
    “ Heh, ribut banget sih loe?”
    “ Harry, sini Harry!!” Harry pun menghampiri Minnie.
    “ Kenapa?”
    “ Kita dikunciin!”
    “ Masa sih?” Harry mencoba untuk membuka pintu dan menggedor-gedor pintu. Namun tidak ada yang mendengar mereka.
    “ Haah, kenapa harus selalu bersama loe?”
    “ Sudah-sudah, jangan mengeluh terus. Huh, untung saja loe nyiram alcohol jadi cepet kering. Kalau loe nyiram air gimana? Loe mau bertanggung jawab buka baju loe buat gue?”
    “ Enak aja loe!”
    “ Makanya jangan kasar!”
    “ Biarin! Apa urusan loe!”
    “ Dasar cewek…”
    Tiba-tiba, Harry nampak sesak napas. Dengan cepat tubuhnya tergelepar ke lantai. Minnie sangat kaget dibuatnya. Harry terus-terusan memegangi dadanya. Napasnya tersenggal-senggal.
    “ Aduh, loe kenapa Harry?!”
    “ Ambil alat bantu napas gue di tas!” jawab Harry terbata-bata.
    Minnie pun dengan cepat menarik tas Harry dan mencari benda yang disebut Harry. Dikeluarkan semua yang ada di tasnya namun tidak ditemukan alat bantu pernapasan dimana-mana.
    “ Aduh, gak ada…” Minnie kebingungan harus berbuat apa.
    “ Pasti ketinggalan.” Ujar Harry masih terbata-bata dengan napas tersenggal-senggal.
    Keadaan Harry sangat menghawatirkan. Sampai dirinya kejang-kejang.
    “ Tolong gue!!” Ujar Harry sambil menarik baju Minnie.
    “ Apa yang harus gue lakukan?”
    Tiba-tiba, Harry langsung diam. Tidak ada gerakan apa-apa. Minnie sangat kebingungan. Minnie langsung mencium Harry. Dia memberikan napas buatan. Namun tidak ada respon apa-apa. Minnie mengambil napas dalam-dalam dan memberikan napas buatan lagi. Terus dilakukannya berulang kali. Saat dia hendak memberikan napas buatan lagi, terlihat wajah Harry bersemu merah. Minnie agak curiga, dia menampar-nampar wajah Harry ringan.
    “ Kok, udahan sih?” tiba-tiba mata Harry terbuka.
    “ J-jadi? T-tadi itu… Haah, dasar cowok brengsek!!!!!”
    Harry tertawa melihat Minnie yang sangat kesal. Minnie menjauh dari Harry, Harry pun bangun lagi. Minnie membuang wajahnya dari Harry. Nampaknya Harry benar-benar berhasil membuat Minnie kesal.
    “ Ternyata, ehm… Kamu? Boleh kan kita aku kamu?” Tidak ada jawaban dari Minnie. “ Baiklah itu tandanya ya. Ternyata kamu khawatir juga yah sama keadaan aku?”
    “ Heh, siapa pun orangnya gue akan khawatir!” Minnie masih membuang wajahnya.
    “ Oh, begitu ya? Sedang apa kamu di sana? Nanti ada hantu lho?”
    “ Gak takut!!”
    “ Bener? Konon katanya di kampus kita dulu pernah ada yang bunuh diri lho…”
    “ Terus? Apa urusannya? Dia sudah bunuh diri, dia sudah berlalu.”
    “ Dia gentayangan!”
    “ Haah, loe bergurau kan?” Minnie bangun dari duduknya dan menghampiri Harry karena dia cukup takut dan percaya akan kata-kata Harry.
    “ Enggak!”
    “ Loe Cuma mau nakutin gue kan?”
    “ Enggak, serius deh.”
    “ Hantu itu pernah menampakkan diri?”
    “ Sekarang dia sedang nampak.”
    “ Mana?” wajah Minnie kini memucat.
    “ Silahkan bercermin.”
    Minnie menghela napas. “ Sudah gue duga. Kenapa sih gue itu bodoh banget selalu percaya sama loe?!”
    “ Hahaha.”
    Tiba-tiba, lampu mati. Harry tidak menduga hal ini. Minnie memegangi tangan Harry. Mereka duduk di lantai dengan ketakutan yang amat sangat.
    “ Jadi, hantu itu benar-benar ada Har?”
    “ Gak tau, tadi gue cuma ngarang. Mungkin ini cuma mati lampu doang kali. Udah loe aman kok.”
    Lama sekali rasanya mereka duduk di dalam kegelapan. Minnie mengeluarkan handphone untuk melihat jam dan ternyata sudah jam sembilan malam. Kalau orang tuanya tinggal bersamanya pasti orang tuanya sangat menghawatirkannya. Kantuk pun datang, Minnie terus-terusan menguap.
    “ Tidur aja, gue pun ngantuk.” Ujar Harry.
    “ Oke, met bobo Harry. Hari yang melelahkan karena seharian bersama loe.”
    “ Terimakasih…”
“?“
BAB IV MASIH MENGHARAPKANNYA
Tidak terasa tahun ajaran sebentar lagi selesai. Merupakan hari-hari yang berat bagi Minnie karena dia akan berpisah sekolah dengan Louis. Louis akan kuliah atau bekerja sedangkan Minnie masih harus menyelesaikan kuliahnya dua tahun lagi.
Musim hujan sudah berlalu, awan kelabu kini sudah mau berpindah posisi sehingga matahari dapat berbagi sinarnya. Minnie duduk di taman berharap Louis lewat karena dia ingin mengatakan sesuatu.
“ Hai, Minnie…”
“ Hahaha, kakak. Kebetulan sekali.”
“ Kebetulan kenapa?”
“ Gak, ada yang mau aku sampaikan ke kakak. Kan sebentar lagi kakak mau sidang skripsi, yang jelas kakak lulus dari kampus ini kan? Satu permintaan buat kakak, jangan lupain aku ya kak…”
“ Pasti laah, lagian kita kan masih bisa ketemu.”
“ Bener ya kak?”
“ Iya, oh iya. Ik hound van jo artinya apa?”
Mendengar Louis mengatakan hal tersebut, jantungnya berdebar-debar. Apakah inilah saatnya mengungkapkan perasaannya kepada Louis.
“ Kenapa emang kak?”
“ Enggak, waktu itu ada temen yang bilang itu ke kakak.”
‘ Haah? Temen? Gue temennya kan?’ Minnie membatin. Dia pun tidak mau lama-lama membuat Louis menunggu jawaban. “ Salah kak, bukan Ik hound van jo. Tapi Ik houk van jou. Artinya aku cinta kamu. Terus-terus, jawaban kakak apa buat teman kakak?” Minnie mengira kalau Louis lupa dengan kata-kata yang lebih jelasnya tetapi dia yakin betul kalau teman yang dimaksud Louis adalah dirinya karena dia pernah mengatakan hal itu kepadanya.
“ Oo, itu toh artinya. Jawaban kakak? Yaa, pastinya aku cinta kamu juga laah…”
Minnie sangat senang mendengar hal itu. “ Terus, siapa cewek beruntung itu?”
“ Siapa yaa? Ada deh, beruntung gimana maksudnya?”
“ Yaa, beruntung aja.”
Saat mereka sedang mengobrol, tiba-tiba Ellanor lewat. Lalu, Louis memanggilnya. Ellanor pun menghampiri Louis.
“ Kenapa?”
“ Ik houk van jou juga.” Ujar Louis kepada Ellanor.
Minnie sangat terpukul dan kecewa mendengar hal itu. Ternyata yang diingatnya adalah kata-kata dari Ellanor yang salah. Yaitu Ik hound van jo. Minnie sangat terpukul seperti diasingkan ke negeri yang jauh seorang diri. Minnie kecewa karena dia sudah senang. Minnie pun tidak kuasa menahan air matanya. Dia berlari meninggalkan Louis dan Ellanor menuju kamar mandi. Namun Louis tidak menyadarinya.
Minnie berlari tidak melihat jalan, sampai-sampai dia menabrak Harry. Minnie langsung memeluk Harry dan menangis sejadi-jadinya.
“ Loe kenapa?” Tanya Harry.
Minnie tidak menjawab pertanyaan Harry. Dia masih menangis di pelukan Harry tidak perduli dengan banyaknya murid-murid yang menonton mereka. Tidak perduli dengan banyaknya orang yang membicarakan mereka. Minnie sangat sedih dan dia sedang membutuhkan seseorang.
Sampai kiranya hatinya sudah agak tenang. Minnie menggenggam tangan Harry dan mengajaknya kembali ke kelas.
“ Terimakasih ya Har.”
Harry masih bertanda tanya besar.
“?“
Kakinya melangkah di sepanjang jalanan panjang beraspal. Kanan kirinya banyak rumah-rumah besar. Matanya jelalatan mencari rumah yang sesuai dengan alamat yang dituliskan Gemma beberapa bulan yang lalu. Kini, mata dan langkahnya terhenti di rumah berpagar cokelat tinggi. Seorang satpam mengiyakan alamat yang ditujukan Minnie lalu Minnie pun masuk.
Halaman yang luas dan rumah yang besar. Semua terbuat dari kayu namun terlihat mewah. Minnie memasuki rumah itu. Dia bertanya pada seorang pelayan dimana letak kamar Gemma, pelayan itu mengantarnya ke kamar Gemma.
Setelah Minnie sampai di depan pintu kamar Gemma, pelayan itu menginggalkan Minnie. Minnie mengetok pintu dan terdapat perintah untuk masuk yang diyakini itu adalah suara Gemma. Minnie pun membuka pintu tersebut, dan dia melihat kamar yang sungguh berantakan.
“ Gemma. Kamar kamu berantakan banget!”
“ Minnie? Kok gak bilang-bilang sih mau main? Kan gue bisa ngerapihin kamar gue dulu.”
“ Mau gue bantu rapihin?”
“ Oh, gak usah.”
“ Gak apa-apa…”
Minnie pun merapihkan kamar Gemma sampai benar-benar rapih. Setelah itu, Minnie melihat ke luar rumah dan membuka jendela. Tubuhnya membelakangi Gemma. Minnie menceritakan kesedihannya kepada Gemma sampai akhirnya dirinya benar-benar merasa lega.
Terdengar suara ketukan pintu dan tentunya ada seseorang yang masuk ke kamar Gemma. Tetapi Minnie tetap melihat ke arah luar tidak perduli siapa yang masuk ke kamar Gemma.
“ Wow! Kamar kakak rapih! Ah, pantas saja. ada teman kakak yang main.”
“ Justru dia yang rapihin kamar kakak. Hehehe”
Minnie menguatkan telinganya, karena dia mengenali suara tersebut. Lalu dia menoleh perlahan. Minnie dan Harry dibuat kaget masing-masing.
“ Minnie!”
“ Harry!”
“ Jadi cowok yang punya penyakit brengsexual itu Harry? Sudah aku duga.” Ujar Gemma.
“ Apa? Loe bilang gue punya penyakit?” ujar Harry kepada Minnie.
“ Itu kan dulu.” Minnie menjadi tidak enak.
“ Tapi loe pernah berpikiran seperti itu kan? Dan, kenapa kok kalian bisa kenal?”
“ Iya, tapi dulu adikku. Kami memang sudah kenal sejak hmm, kapan yaa? Bisa dibilang kita masih kecil. Di Cheshire, sewaktu kita belum pindah ke London.” Jelas Gemma.
“ Oh, haha. Mengapa dunia ini begitu sempit ya?” tersirat kebanggaan di wajah Harry.
“ Kenapa senyum-senyum? Jangan berpikiran kalau kita ini jodoh.” Minnie mengancam Harry.
“ Siapa juga yang berpikiran seperti itu?”
“ Oh, baguslah kalau tidak.” Minnie melipat kedua tangannya.
“ Heh, kenapa nada bicara loe begitu? Seolah-olah loe gak percaya kalau gue gak berpikiran seperti itu?”
“ Memang nada bicara gue harusnya bagaimana?” Minnie meneriaki Harry.
“ Hei! Hei! Sudah! Sudah! Jangan bertengkar di kamarku! Harry, sebaiknya kamu ajak tamuku ke kamarmu. Minnie, aku mau keluar sebentar ya…”
Gemma meninggalkan mereka di kamarnya. Minnie sangat bertanya-tanya.
“ Hah? Apa? Ajak gue ke kamar Harry?” Minnie menunjuk dirinya sendiri.
“ Tunggu apa lagi? Ayo!” Harry menarik tangan Minnie hingga Minnie terbawa.
Mereka keluar dari kamar Gemma dan melewati koridor rumah yang panjang menuju kamar Harry.
“ Ini kamar gue.”
“ Gede banget? Kamar gue aja gak sebesar ini. Ini sih, ruang tamu gue. Enggak! Enggak! Kalau ini ruang tamu plus ruang nonton TV rumah gue.”
“ Silahkan duduk.”
“ Apa?”
“ Loe ini sekarang tamu gue. Silahkan duduk.”
“ Dimana?”
“ Terserah.”
“ Oh, baiklah.” Minnie menuju ke kursi meja rias Harry dan duduk di sana. “ Waa, sepertinya duduk di dekat jendela itu enak.” Minnie berdiri dan menuju ke kursi yang dekat jendela.
Minnie menikmati pemandangan dari bangku tersebut. Memang hanya terlihat jalanan saja, namun terlihat sangat tenteram di hatinya. Tiba-tiba, Harry mendekati Minnie dan menunjang tangannya di dinding. Minnie menoleh, dan wajah mereka berpapasan. Harry tersenyum padanya.
“ Mau apa loe?”
“ Tau gak, ini adalah tempat favorit gue.”
“ Masa sih?”
“ Iya, apalagi kalau sedang turun hujan. Gue suka duduk di sini sambil melihat jalanan yang basah dan memandangi wajah gue yang sempurna ini.”
“ Dasar narsis! Minggir sana!”
“ Kenapa gue harus minggir? Gue gak menghalangi pandangan loe ke luar sana kan?”
“ Tapi jarak kita terlalu dekat dan gue gak suka itu.”
“ Tapi gue suka kalau begini.”
“ Kenapa sih loe selalu ngerjain gue Har?”
“ Karena gue suk…”
“ Suk? Suk apa?” Minnie bertanya sangat hati-hati.
Harry mendekati Minnie hendak menciumnya. Harry sudah tidak bisa memungkiri kalau dia menyukai Minnie. Dia terkena oleh rencananya sendiri. Minnie sangat kesal kepada Harry yang berani-beraninya ingin menciumnya. Saat Harry hampir menciumnya, Minnie memukul kepala Harry dengan tangannya.
“ Aww! Kasar banget sih?” ujar Harry.
“ Loe sendiri kenapa lancang banget?”
“ Lancang apa?” Harry malah bertanya balik.
“ Loe mau cium gue kan? Asal loe tau ya, ciuman pertama gue itu hanya untuk suami gue. Gue gak mau suami gue dapet yang bekas.”
Harry sangat tercekang mendengar pernyataan Minnie. Tetapi, Harry tidak mau kalah. “ Jangan terlalu percaya diri. Selama loe bicara gue mencium bau yang aneh, semakin gue mendekati loe bau itu semakin menyengat, akhirnya gue penasaran untuk mendekati loe biar gue tau apa itu bersumber dari napas loe. Ternyata, memang napas loe bau! Habis makan apa sih?”
“ Hah? Benarkah? Loe bohong kan?” Minnie merasa kalau suhu tubuhnya meningkat. Darahnya mengalir ke leher dan peluh-peluh pun mulai keluar dari kulit.
“ Kenapa wajah loe jadi aneh gitu?” Harry tahu apa yang Minnie rasakan. Minnie tidak menjawab pertanyaan Harry. Harry menjadi kasihan kepada Minnie. “ Ah, ternyata bukan napas loe kok yang bau. Ternyata tangan gue, gue cuci tangan dulu ya. Tunggu sini!”
Harry menuju kamar mandi dan bercermin. Dia tersenyum membayangkan wajah Minnie yang malu. Lalu kembali menemui Minnie.
“ Sudah tidak bau. Oh iya, bicara tentang ciuman pertama bukannya ciuman pertama loe itu buat gue ya? Inget gak yang di kelas itu?”
“ Heeeh, itu sih tidak jadi hitungan. Pertama gue dikerjain loe. Kedua, niat gue itu menolong.”
“ Dasar, keras kepala.”
“ Loe emang harus dikerasin!”
“ Baiklah, kalau begitu gue akan menunggu.”
“ Maksudnya?”
“ Loe mau apa?”
“ Maksudnya?”
“ Loe itu bodoh yaa? Loe kan tamu gue, loe mau apa? Mau minum apa? Mau makan apa?”
“ Oh, jangan marahin gue gitu dong! Loenya aja yang gak jelas nanyanya. Gak, gue gak haus, gue gak lapar. Gue mau pulang aja deh.”
“ Gue antar ya?!”
“ Gak usah.”
“ Jangan menolak!”
“ Haah, tidak perlu. Lagipula gue mau ke taman dulu. Sekarang kan sudah tidak hujan, sudah lama gue gak ke taman.”
“ Gue ikut.”
“ Gak boleh.”
“ Baiklah, gue akan ke taman juga. Dengan catatan tidak ikut loe.”
“ Ya sudah, kalau begitu gue gak jadi ke taman. Gue pulang aja.”
“ Dasar cewek batu!”
“ Apa? Kenapa loe bilang gue cewek batu?”
“ Ya sudah, pulang sana!”
“ Jadi loe gak jadi ke taman?”
“ Gak.”
“ Oh, baiklah.”
Minnie keluar dari kamar Harry dan pulang. Tidak lama kemudian, Gemma masuk ke kamar Harry.
“ Eh, kakak. Mau ngomong apa kak?”
“ Hmm, tau gak tadi Minnie cerita apa ke kakak?”
“ Enggak.” Harry mengangkat kedua bahunya.
“ Pertama, kakak mau tanya dulu ke kamu. Kamu jatuh cinta kan kepadanya?”
“ Hmm, sebenarnya aku tidak mau tapi ya aku jatuh cinta kepadanya. Emang tadi dia cerita apa?”
“ Dia ceritain cinta pertamanya yang bernama Louis. Hari ini dia lagi kecewa banget sama cinta pertamanya itu. Tapi dia bersyukur Tuhan sudah kasih tau dia secepat ini.”
“ Aduh kakak, aku gak ngerti.”
“ Ya udah, pokoknya intinya dia lagi kecewa sama cinta pertamanya itu. Yang kedua, tadi Louis sms ke Minnie katanya dia setelah lulus mau tunangan sama pacarnya. Sambil terusin S2nya mereka menikah.”
“ HAAAH? Tunangan? Gak salah? Semuda itu? Terus-terus, gimana Minnie?” Harry sangat antusias mendengar cerita dari kakaknya.
“ Ya sedih laah. Kamu gimana sih Harry?”
“ Masa sih? Aku kira dia bakalan biasa saja. soalnya, dia itu kan kuat seperti batu.”
“ Ya, memang dia kuat. Tapi, hatinya sangat rapuh. Jauh di dalam lubuk hatinya…” Gemma menempelkan telapak tangannya ke dada Harry. “… dia sedang sakit. Jadi, buatlah dia bahagia. Itu kalau kamu serius suka padanya.”
“ Tapi, dia selalu menolak.”
“ Kamu pernah nembak dia?”
“ Bukan, bukan itu. Boro-boro nembak. Aku anterin, aku ajak jalan aja nolak terus apalagi nembak bisa dibunuh aku.”
“ Kakak dukung kamu! Selalu hadir saja di kehidupannya lama kelamaan masa sih Minnie tidak bisa jatuh cinta sama cowok setampan dan sekeren kamu.”
“ Oke!!”
“?“
SOMETHING HAPPEN TO MY HEART
Hari yang ditakutkan Minnie terjadi juga. Hari ini adalah hari cinta pertamanya bertunangan. Sampai detik ini, Minnie belum bisa melepasnya. Melepas cinta pertamanaya. Hari sangat cerah, sepertinya bumi mendukung pertunangan mereka. Tetapi, di seberang sana sedang terjadi badai. Seberang tempat Minnie berpijak. Hati yang meronta ingin lepas dari sihir cinta. Andai ada ramuan yang dapat menghilangkan sihir itu, akan didapatkan semamunya walaupun berujung kematian. Daripada gugur membawa cinta yang terluka.
Minnie sudah memakai gaun, dia terlihat anggun. Gaun berwarna ungu dengan bedak dan lipstick tipis bertengger di tubuhnya. Harry sudah menunggu di depan halaman rumahnya.
“ Loe yakin mau datang ke acara itu?”
“ Iya, gue udah janji sama dia. Loe kenapa ngotot nganterin gue sih?”
“ Kakak gue yang nyuruh. Kalau bukan karena dia juga gue males.”
“ Yaudah, bilang aja sama kakak loe kalau loe udah nganterin gue. Gue naik bus aja.”
“ Sudah buruan masuk! Masa iya pakai gaun naik bus?”
Minnie pun masuk ke mobil Harry. Ban mobilnya melesat menuju rumah Louis.
“?“
Terlihat keramaian dari kejauhan, pesta tunangan yang cukup meriah. Ban mobil Harry berhenti di tempat yang sudah disediakan. Mereka pun turun dari mobil dan melangkahkan kaki mereka ke dalam. Kaki Minnie sangat berat untuk melangkah, tetapi hatinya terus meyakininya kalau ini bukanlah sebuah kiamat. Minnie harus berani.
Mereka sudah sampai di depan pintu rumah Louis. Dua langkah lagi dapat membuat mereka menyaksikan kegembiraan yang sedang dirasakan oleh banyak orang. Harry menggerakkan tangannya untuk menggapai tangan Minnie lalu dia menggenggamnya. Minnie menoleh ke Harry, Harry tersenyum menguatkan. Mereka pun masuk. Di sana, mata Minnie jelalatan mencari keberadaan Louis dan Ellanor. Akhirnya Minnie menemukannya, di sudut sebuah ruangan mereka berdua sedang tersenyum gembira dan terlihat sangat serasi.
Tanpa terasa kakinya berhenti melangkah. Serasa tubuhnya sudah jatuh di lantai, ditertawai dan dipojokkan. Inilah perasaan yang sedang menghantuinya. Tangannya berkeringat tetapi terasa dingin. Jantungnya terasa ingin menjerit menyaksikan cinta pertamanya. Matanya mengeluarkan cairan bening dan lama-lama mengumpul akhirnya jatuh membasahi pipi.
“ Jangan terlihat lemah Minnie.” Harry menghapus air mata Minnie dengan sapu tangannya.
“ Terimakasih. Tapi, gue gak kuat. Ayo kita pulang saja.”
“ Jangan, Louis dan Ellanor sudah melihat kita. Ayo kita beri mereka selamat.”
Minnie mengambil napas dalam-dalam. Dia membusungkan hatinya, membuatnya tinggi. Kakinya dilangkahkan tak gentar lalu menebarkan senyum palsu. Sampailah dia berhadapan dengan cinta pertamanya yang akan pergi.
“ Kakak, selamat yaa. Senang banget kakak akhirnya bersama Ellanor. Semoga sampai ke jenjang pernikahan yaah. Jangan sampai putus, kakak jangan selingkuh. Kakak harus sayang sama Ellanor. Aku pulang dulu ya, soalnya teman aku nunggu. Maaf gak bisa lama-lama.” Minnie berbicara sangat cepat membuat Louis dan Ellanor bingung. Minnie berlari ke luar.
“ Selamat ya Kak. Kita harus buru-buru soalnya temannya Minnie yang dari Amerika datang ke rumahnya. Yang langgeng ya kak.” Harry berbohong untuk melindungi Minnie.
“ Oh, iya-iya. Bilangin makasih ya sama dia…”
“ Sipp!”
Harry kembali ke mobilnya, ternyata tidak ada Minnie. Harry sangat panik. Harry mengeluarkan handphone dan menelpon Minnie.
“ Minnie, loe di mana?”
“ Loe ngapain telepon gue?” Tiba-tiba Minnie muncul dari belakang mobil.
Harry terkejut dan ingin marah tetapi lucu, dia mematikan panggilan. “ Loe ngapain di situ?”
“ Aduh, Harry… Mobil loe kan masih dikunci. Daripada gue disangka maling.”
“ Oh iya, tapi loe aneh banget. Yaudah masuk.” Mereka berdua masuk ke dalam mobil.
Harry mengendarai mobilnya dengan lambat. Minnie nampak tidak sedih. “ Loe kok gak nangis?” Tanya Harry.
“ Emang harus nangis ya?”
“ Tadi, loe pas ngeliat mereka nangis. Terus, waktu ngucapin selamat loe buru-buru. Gue kira loe mau nangis.”
“ Hahaha, gue mau buang angin. Malu kan kalau buang angin di depan mereka?”
“ Hahahahahahaha. Dasar aneh! Jadi loe gak sedih nih ceritanya?”
“ Gak dong… Kan sedihnya tadi. Sekarang untuk apa gue menyedihkan hal yang sudah tidak mungkin? Buang-buang waktu saja.”
“ Bagus…”
“ Mau ke Disney?”
“ Boleh.”
“ Tapi, masa sih pakai gaun?”
“ Ayo kita ke mall dulu.”
“?“
Sesampainya di Disney...
Mereka mengantri untuk mendapatkan tiket masuk. Setelah mendapatkan tiket, mereka masuk dan menaiki wahana satu per satu.
“ Loe mau kemana dulu?” Tanya Harry kepada Minnie.
“ Terserah aja.”
“ Tapi, loe yakin?”
“ 100%!”
Mereka pun menaiki wahana paling ekstrim disana. Saat wahana itu berlangsung, mereka berteriak sejadi-jadinya. Wahana pun berhenti, Harry napak semployongan.
“ Loe kenapa?”
“ Mau muntah.”
“ Cemen loe. Gitu aja masa muntah? Ayo kita naik yang lebih ekstrim!” Minnie menarik tangan Harry.
Mereka naik wahana lainnya. Wajah Harry sangat pucat. Minnie berteriak sejadi-jadinya. Tetapi Harry Nampak tidak baik-baik saja. Minnie tidak peduli.
Mereka menaiki wahana-wahana lainnya. Terakhir mereka naik rollercoaster. Harry paling takut dengan rollercoaster. Sampai sore hari pun tiba.
“ Loe baik-baik saja kan Har? Ayo kita beli es krim biar loe gak mual. Ini buat loe, sekarang kita naik…”
“ Cukup.”
“ Padahal gue mau ngajak  loe naik bianglala, pasti romantis sekali.”
“ Tidak cukup. Ayo!”
Minnie jadi ingin tersenyum. “Ayo”
Mereka menaiki bianglala. Harry sangat senang sekali menaikinya, karena akhirnya dia tidak menaiki wahana yang sangat menyeramkan. Mereka duduk berhadapan.
“ Harry, gue mau ngomong sesuatu nih.”
“ Apa?”
“ Makasih ya untuk hari ini. Gue gak tahu yang akan terjadi kalau gak ada loe.”
“ Hehehe, pastinya. Loe gak ngatain gue cowok yang punya penyakit brengsexual lagi kan?”
“ Tapi ada penyakit buat loe, yaitu angel of rain. Sebuah penyakit yang diderita seseorang yang telah menolong seseorang dari kesedihan.”
“ Bisa saja.”
“ Gue serius Harry…”
“ Iya-iya, gue tau kok kalau loe serius. Oh iya, gue mau kasih tau loe suatu hal nih. Loe pantes kok ngejulukin gue sebagai cowok yang punya penyakit brengsexual. Karena emang bener gue itu cowok…”
“ Gak perlu loe jelasin lagi, gue tau kok loe cowok yang seperti apa.”
“ Ya, dan gue salah memilih loe. Musim hujan tahun ini mempertemukan gue sama loe. Cewek yang paling susah gue taklukkan, sampai-sampai gue terobesei untuk bisa menaklukkan loe dan akhirnya gue sendiri yang jatuh cinta sama loe.”
“ Hahaha, ada-ada saja.”
“ Loe gak suka juga sama gue?”
Minnie hanya tersenyum lalu melahap es krimnya lagi. Harry pun tersenyum. Minnie merasakan hatinya berkata ya saat Harry bertanya hal demikian kepadanya. Tetapi, lidahnya sangat kelu untuk mengucapkannya.
“?“
BERJODOH
Hari ini adalah pengumuman kelulusan. Semua mahasiswa yang siding hari ini lulus. Harry dan Minnie mendapatkan nilai sempurna dan mereka berhasil masuk ke Universitas Oxford untuk melanjutkan S2 mereka. Minnie mengambil jurusan Business and Management sementara Harry kedokteran.
Sepuluh tahun kemudian…
Mereka berdua sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua sudah meraih cita-cita yang mereka inginkan. Minnie berhasil menjadi seorang super visor di perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia dan sudah memiliki apotek sendiri. Harry kini menjabat sebagai dokter spesialis bedah.
“ Minnie, loe gak suka ya sama gue?” Tanya Harry.
“ Apa?”
“ Kok loe gak pernah mengiyakan sih?”
“ Emangnya harus ya?”
“ Iya.”
“ Baiklah. Harry, aku cinta kamu juga. Maukah kita segera menikah? Aku sudah menyiapkan sebuah tempat. Kenalanku di korea yang bernama Park Jun Sae akan meminjamkan pulau buatannya yang di dekat sungai Han untuk pernikahan kita.”
“ Dasar curang! Merencanakan itu tanpa sepengetahuanku!”
“ Surprise…”
Satu bulan kemudian…
Mereka menikah di Seoul dan menjadi keluarga yang sangat harmonis…
Satu tahun kemudian…
Mereka memiliki anak pertama dengan kelamin laki-laki. Kak Gemma akhirnya menikah dengan orang Korea.
Lima tahun kemudian…
Mereka dianugerahi anak kedua dengan kelamin perempuan.
Lima belas tahun kemudian…
Mereka dianugerahi seorang cucu dari anak pertama mereka.
Dua puluh tahun kemudian…
Mereka dianugerahi seorang cucu kedua dari anak keduanya.
Dua puluh dua tahun kemudian…
Cucu ke tiga dari anak ke duanya.
Dua puluh tiga tahun kemudian…
Cucu ke empat dari anak pertamanya.
Lima puluh tahun kemudian…
Mereka menulis surat wasiat dan mereka menikmati hari-hari tua mereka.
__THE END__

Tidak ada komentar:

Posting Komentar