Senin, 28 Januari 2013

Fan Fiction haha :)

_Book and Umberella_
Hujan deras membasahi kota London. Seorang gadis berwajah oriental dan berambut panjang itu memeluk dirinya sendiri untuk mengurangi rasa dingin yang membelut dirinya.
Musim hujan sedang melanda kota London, namun hari ini gadis itu lupa membawa payung sehingga membuatnya harus menunggu di bangunan tua yang berdiri kokoh sekitar jalan dekat perpustakaan tempatnya bekerja.
Kaca mata bundarnya beruap menandakan bahwa sudah begitu lama dirinya menunggu hujan berhenti.
"Hai." terdengar seorang pria menyapanya dari samping tempatnya berdiri. Dengan tubuh yang cukup gemetaran gadis itu menoleh.
Seorang pria tampan yang tampak tidak asing sedang berdiri tepat di sampingnya sambil memegang payung hitam dan sebuah buku digenggamnya.
Mata gadis itu terbelalak melihat buku yang tampaknya terkena percikan air hujan. Gadis itu langsung merampas buku yang dipegang pria itu dan mengecek dalamnya. Terdapat cap perpustakaan tempatnya bekerja. Gadis itu membelalakkan matanya ke arah pria di hadapannya kini. "Kau tidak boleh memperlakukan buku seperti ini, nak!"
Pria muda itu tertawa karena gadis seumuran dengannya itu memanggilnya dengan sebutan 'nak'. Namun dia tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Aku tidak bawa tas, Bu!"
"Bagaimana bisa kau meminjam buku tapi tidak membawa tas? Dari sini, kau tahu apapun yang ingin kau ketahui. Buku itu adalah sumber terpercaya."
"Apa Ibu yakin? Menurutku sumber terpercaya itu adalah dari orang itu sendiri."
"Buku tidak pernah berbohong." Sahutnya masih sambil mengecek lembar per lembar buku tersebut hingga dia yakin tidak ada satu halaman pun yang basah.
"Jadi, apa kau mau menolongku?"
Perhatian gadis itu beralih ke pria itu. "Apa?"
Pria itu menunjuk ransel yang dikenakan gadis itu. "Aku titip buku itu di ranselmu, antar aku ke rumahku."
"Apa imbalannya?"
"Payung ini. Setelah tiba di rumahku, kau boleh ambil payungku dan membawanya pulang. Aku sering berkunjung ke perpustakaan tempatmu bekerja. Jadi, kau bisa kembalikan payung ini kapan saja."
"Baiklah."
***
Rumah yang tampak sudah agak usang itu berdiri sendiri di ujung jalan jauh dari keramaian. Sebuah lampu minyak menggantung di depan pintu memberikan warna mega di dinding bercat putih yang kusam itu.
"Ini bukunya." Gadis itu memberikan buku bersampul merah itu pada pria itu.
Pria itu tersenyum. Senyum yang begitu teduh dan penuh kedamaian. Dia menatap mata sipit gadis itu yang tampak kikuk dengan situasi ini. Rambutnya yang lurus panjang tampak sangat kacau. "Siapa namamu?"
Gadis itu tersentak, seperti tidak siap dengan pertanyaan itu. "Kau menanyakan namaku?"
"Iya. Boleh aku tahu? Aku sering sekali melihatmu, tapi aku tidak tahu namamu."
Gadis itu menunduk, melemparkan pandangan ke sepatu mereka yang basah. "Namaku Amelia."
"Amelia. Nama yang cantik. Aku Louis Tomlinson. Kau bisa panggil aku Lou. Ngomong-ngomong, kamu tidak tampak seperti orang Inggris ya? Apa kau Asia?"
"Ah~" Gadis bernama Amelia itu tertawa. Matanya semakin mengecil dan tampak seperti sedang terpejam saat itu. "Ayahku adalah yatim piatu. Dia diangkat oleh Nenek dan Kakekku yang kebetulan orang Inggris. Ayahku orang Hongkong dan dia menikah dengan Ibuku yang juga orang Hongkong."
Louis mengangguk-angguk mendengar cerita singkat yang membuatnya paham saat ini. "Jadi kau bisa bahasa Mandarin?"
"Tidak. Sejak bayi aku di London. Baiklah, aku rasa aku harus pulang. Sekarang, apa aku sudah boleh mengambil alih payungmu Lou?"
Louis sampai lupa akan janjinya untuk meminjamkan payung kepada Amelia. "Maaf." Louis memberikan payungnya pada Amelia.
"Baiklah, jaga baik-baik bukunya ya Lou. Bye!"
Hanya lambaian tangan yang mampu Louis berikan pada Amelia. Sudah sangat lama dia memuja gadis itu. Memandangnya pergi dari rumahnya saja sudah membuatnya sangat senang. "Amelia. I've got your name."
***
Hujan semakin lama semakin deras saja. Memang rasanya agak kejam membiarkan gadis seunik Amelia pulang sendiri ke rumahnya. Namun Louis tidak bisa bertindak lebih, dia hanya bisa menolong Amelia sebatas itu. Dia tidak ingin terburu-buru.
Dinding rumahnya yang sudah lapuk itu tidak memberikan kehangatan sama sekali malah membuat dingin meresap masuk hingga ke kamarnya.
Malam semakin larut, dingin semakin merambat. Louis mencari pematik api untuk membakar kayu agar dirinya lebih hangat. Namun sial, dia tidak kunjung menemukannya.
Louis memilih untuk kembali ke kamarnya dan menarik selimutnya yang tipis untuk menghangatkan dirinya.
Tinggal seorang diri memang tidak enak. Tapi itulah yang dirasakannya setelah membuat keputusan untuk pergi dari panti asuhan yang merawatnya dan hidup seorang diri.
Tubuhnya menggigil hebat, butuh kehangatan namun tidak ada satupun yang membuatnya menjadi lebih hangat. Tidak ada benda satupun yang berguna untuknya saat ini.
***
Leher Amelia panjang mencari-cari Louis—pria yang biasanya duduk manis di dekat rak buku Filosofi. "Dia kemana ya?" Pikirannya tidak fokus pada buku yang sedang di bacanya.
***
Hari-hari terus berganti, sudah 4 hari Amelia tidak melihat Louis. Selama 4 hari berturut-turut itu pun Amelia selalu membawa dua payung.
Entah sejak kapan Amelia mulai mencari Louis disaat Louis tidak ada, perasaan khawatir yang datang saat tidak melihat Louis, dan rindu. Ya, yang dirasakan Amelia saat ini adalah sebuah kata rindu.
Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, hujan masih saja turun dengan damai. Jam kerjanya hari ini sudah berakhir, Amelia membawa dua payung dan membukanya satu untuk melindunginya dia dari hujan.
Langkah membawanya ke ujung jalan tempat bangunan tua dan usang berdiri dengan kokoh namun tampak begitu lemah dan kedinginan di terpa hujan.
Dengan ragu, Amelia meneruskan langkahnya hingga kini dia berada di depan pintu rumah Louis. Lampu yang menggantung di depan pintu sudah kehabisan minyak. "Ada apa dengan Louis? Apa dia pindah?" gumamnya.
Tiba-tiba terdengar suara orang batuk dari dalam rumah yang diyakininya itu adalah suara Louis. Amelia mengetuk pintu namun tidak ada jawaban. Rasa khawatir mulai meradang di diri Amelia. Dia mencoba untuk membuka pintu dan tidak terkunci.
Ruangan gelap dan berbau cukup aneh merauk wajahnya. Amelia meraba-raba dinding untuk menemukan saklar lampu dan lampu pun menyala dengan redup setelah Amelia menemukannya. Setidaknya lebih baik dari sebelumnya.
"Lou? Louis~"
Lagi-lagi tidak ada jawaban, namun suara batuk itu terdengar lagi. Amelia mengikuti suara batuk itu dan dia mendapati Louis sedang terbaring di kasurnya yang lusuh. "Louis!" Amelia kini tidak ragu lagi untuk melangkah pasti. Dia menghampiri Louis.
"Amelia~" Suaranya terdengar parau, matanya terbuka sedikit dan mencoba untuk tersenyum saat melihat kedatangan Amelia.
Amelia memegang dahi Louis dan tangannya terasa seperti terbakar oleh suhu tubuh Louis yang begitu tinggi. "Astaga Lou, kau sakit." Amelia membuka mantelnya yang begitu tebal dan menutupi tubuh Louis dengan itu.
Tanpa banyak bertanya, Amelia langsung menelusuri rumah yang tidak besar itu untuk mencari sebuah wadah dan handuk. Amelia kembali ke kamar Louis.
Amelia naik ke tempat tidur Louis dan mengompres Louis dengan handuk yang telah dibasahinya itu. "Lou, apa kau punya obat demam?" Louis hanya menggeleng.
"Astaga, baiklah aku akan ke apotek. Tunggu ya!"
Saat Amelia hendak pergi, Louis menahan tangan Amelia. "Tidak usah. Tolong disini saja, temani aku."
"Tapi—"
"Aku sudah terlalu lama sendiri, temani aku saja."
Amelia melemah. Dia kembali duduk manis di samping Louis sambil sesekali mengompres Louis lagi dan lagi.
Lagi-lagi Louis menahan tangan Amelia, kini dia menahannya lebih lama. Louis merasakan tangan Amelia yang begitu hangat menyentuh sampai kulit arinya yang begitu tipis dan dingin. "Hangat sekali." Gumamnya.
Amelia jadi agak kikuk, selama ini dia tidak pernah mengobrol begitu dekat dengan seorang pria. Louis adalah pria pertama yang membuatnya nyaman dan... jatuh cinta. Sepertinya itulah yang sedang dirasakan Amelia.
Amelia menyingkirkan tangan Louis dan memindahkan tangannya ke wajah Louis. "Apa hangat?"
Louis menatap Amelia. Wajahnya yang tadi pucat, kini lebih bersemu dan berwarna. Dia mengangguk sebagai jawaban.
"Berbaringlah di sampingku." pinta Louis.
Dengan tulus, Amelia berbaring di samping Louis. Tangan mereka saling menggenggam.
Perasaan cinta sedang tumbuh bersemayam di hati mereka. Menuncapkan akar kuat yang akan menumbuhkan bunga-bunga cinta yang akan bermekaran seperti saat musim semi.
"Louis, kenapa kamu tidak ke dokter?"
"Aku sedang menunggu dokter itu datang."
"Tapi dia tidak kunjung datang Lou. Kalau aku tidak datang, kau bisa mati."
Louis tersenyum. "Aku tidak akan mati karena dokter itu sudah merawatku."
Amelia terdiam dan tersenyum. "Aku sangat suka senyuman dokter itu." papar Louis.
"Aku rasa, dokter itu akan terus tersenyum karena pasiennya menyukai senyumannya."
Suasana menjadi hening. Jantung keduanya berdebar-debar begitu kencang saat mata mereka saling memandang dan tidak ada satupun yang berkedip. Suara reot kasur Louis terdengar ketika Louis memajukan tubuhnya sedikit agar lebih dekat dengan Amelia.
Mata Amelia terpejam ketika Louis mendekatkan wajahnya. Napas Louis yang hangat terasa di hidung Amelia. Sebuah kecupan hangat mendarat di bibirnya. "Terimakasih Bu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar